“Revenge is a kind of wild justice” Balas dendam adalah peradilan liar, kata Bacon
Wanita Aceh tidak mengakui suaminya, hanya karena ayah dari anaknya itu telah tunduk kepada Belanda. Memilih menjadi janda dari pada disebut istri cuak. Namun tak sedikit pula wanita Aceh yang tersiksa, hanya karena suaminya informan Belanda.
Salah satu kejadian seperti itu, terjadi di Lhong, Aceh Besar pada tahun 1933. menurut Zentgraaff, pada saat itu di sebuah desa terdapat 13 pria pejuang Aceh yang melakukan perlawanan terhadap Belanda. Namun salah satu diantaranya menyerahkan diri kepada Belanda.
Mengetahui hal tersebut, istrinya marah besar. Ia tidak lagi menerima ayah dari anak-anaknya itu. Para penduduk pun mengucilkannya. Akibatnya, pria itu terpaksa tidur di sebuah gubuk di ladangnya. Tak lama kemudian, seorang kolonel Belanda bersama seorang pegawai pemerintah, datang ke desa itu untuk menginterogasi wanita yang telah mengusir suaminya itu.
Ketika ditanya Kolonel tadi, ia menjawab. “Suami saya? Saya tidak punya suami.” Jawaban itu diberikannya sambil meludah ke tanah di hadapan sang kolonel. Namu ketika nama suaminya disebut. Ia langsung memotong dan berkata dengan suara lantang. “Dia bukan laki-laki.” Kolonel tadi pun geleng-geleng kepala.
Bagi wanita itu, suaminya tak ubahnya seorang pengecut, karena menyerah, bukan mati syahid sebagaimana pejuang lainnya. “Siapapun boleh berkompromi, tetapi pantang bagi wanita Aceh; dia memikul sahamnya dalam bencana perang sebagai pahlawan (srikandi), dan seringkali: sebagai martelares. Kadang-kadang ia menderia lebih hebat lagi dari orang senegerinya dibandingkan dengan siksa yang dilancarkan oleh kompeuni, lebih-lebih kalau ia berdiam di zona di mana silih berganti muncul pasukan kita dan kemudian pihak pemberontak,” tulis Zentgraaff.
Kejadian yang sama juga terjadi di Desa Pulo Seunong, Tangse, Pidie. Seorang pria yang bekerja sebagai informan Belanda ditangkap pejuang Aceh. Hal itu terbongkar ketika melihat informan tersebut memiliki banyak uang, penyelidikan pun dilakukan, akhirnya diketahui uang itu didapat dari Belanda atas jasanya memberi informasi keberadaan pejuang Aceh. Informan itu pun ditangkap dan disembelih. Dalam kurun waktu satu tahun saja, menurut Zentgraaff, tak kurang dari 20 cuak, yang dipotong lehernya. Namun keluarga yang ditinggalkan tidak pernah meratapinya. Karena dianggap telah berkhianat.
Yang lebih miris adalah apa yang dialami, istri seorang cuak yang bernama Banta di Desa Pulo Kawa. Pada suatu malam di bulan Juli 1910, pimpinan gerombolan Aceh, Keuchik Maha, bersama pengikutnya mendatangi kampung tersebut untuk mencari Banta yang diketahui sebagai informan Belanda.
Namun ketika sampai di rumah, ternyata pria yang dicari itu tidak ada ditempat. Menurut istrinya, Banta ada di rumah istri mudanya. Namun Kechik Maha tetap memeriksa seisi rumah, kemudian ia duduk di sebuah bangku, meminta kepada istri pertama Banta tersebut untuk membersihkan kakinya yang berlumpur dengan air dalam sebuah pasu. Setelah bersih, keuchik Maha meminta agar mengeringkan dengan rambutnya.
Wanita itu pun kemudian mengurai rambutnya, mengeringkan kaki Keuchik Maha. Wanita itu pasrah, karena itu menyangkut hidup matinya. Setelah kakinya bersih dan kering, Keuchik Maha menghunus pedangnya dan menghabisi nyawa wanita itu. Setelah itu, gerombolan Keuchik Maha pun berangkat ke rumah istri muda Banta.
Ketika sampai ke rumah itu di malam buta, Kechik Maha dan gerombolannya menyeru sebagai pasukan kompeni. Ia memanggil Banta dan memintanya turun dari rumah dengan bahasa Melayu, seolah-olah yang datang adalah pasukan Kompeni Belanda.
Bantan pun kemudian turun dari rumahnya. Ketika menuruni tangga, kakinya pun dipukul oleh gerombolan Keuchik Maha, ia pun roboh ke tanah. Tangan, kaki dan kepalanya dipotong-potong. “Pun juga kepala kampung dari kampung Pulo Suenong pada malam yang sama telah disembelih seperti itu pula. Mayat isterinya pun dibuat demikian juga, sehingga kumpulan semuanya itu merupakan tontonan yang sangat memalukan, sehingga para marsose bersumpah menuntut balas terhadap Keuchik Maha,” tulis Zentgraaff.
Masih menurut Zentgraaff, di dekat cincangan mayat istri dan mata-mata kompeni itu, para pasukan marsoese bersumpah akan mengejar Keuchik Maha dan mencincang tubuhnya seperti yang dilakukannya terhadap keluarga cuak tersebut.
Perburuan pun dimulai, namun Keuchik Maha, selalu bisa lolos. Sampai pada 24 Maret 1911, Keuchik Maha dan kelompoknya, kembali turun ke Desa Pulo Sunong, untuk menjumpai istrinya. Sekitar pukul lima sore, Keuchik Maha dan kelompoknya nampak di pinggiran kampung tersebut. Sementara pasukan moersose dibawah pimpinan Van Dongelen, seorang sersan asal Ambon, sudah menunggu dengan jebakannya. Keuchik Maha dan gerombolannya pun tewas dalam penyergapan itu.
Kejadian lainnya yang tak kalah miris terjadi di Seunangan, daerah pesisir Aceh Barat, dalam tahun 1906 dan 1907. Sebuah kelompok pejuang Aceh pimpinan Ibrahim, yang lebih dikenal dengan sebutan Pang Brahim. Ia sendiri merupakan bawahan dari kelompok pejuang yang lebih besar pimpinan Teungku Puteh. “Teungku Puteh lah biang keladi (aktor intelektual) yang pada tahun 1917 melakukan penyerangan terhadap tentara kita, dan menewaskan Gosensoe,” tulis Zentgraaff dalam bukunya tentang peristiwa tersebut.
Namun dalam suatu penyerangan Belanda dibawah komando Boreel, Pang Brahim tertangkap hidup-hidup dan ditawan Belanda. Tertangkapnya Pang Brahim tak lepas dari peran seorang cuak, yang merasa sakit hati terhadap perlakuan kasar pasukan Pang Brahim terhadap keluarganya yang juga dicap sebagai cuak.
Setelah diinterogasi, ia kemudian dipenjara di Meulaboh. Meski mengalami berbagai siksaan, dalam penjara ia tetap menyatakan tekatnya secara lantang untuk membalas dendam terhadap Belanda. [Iskandar Norman]
You Might Also Like :
0 comments:
Post a Comment