Syeikh Abdur Rauf dikenal sebagai mufti Kerajaan Aceh. Sebelum jabataban sebagai penasehat agung kerajaan itu dipegangnya, ia kembali ke Singkil, serta tiga tahun mengembara ke seluruh Aceh dan pantai barat Sumatera.
Dalam suatu perayaan mauled Nabi Muhammad SAW di Kerajaan Aceh. Syeikh Abdur Rauf yang sudah dikenal saat itu, diundang ke Keraton Darud Dunia. Ia datang dengan identitas sebagai nelayan, tanpa memperlihatkan pengetahuannya sebagai seorang ulama.
Langkah itu dilakukan untuk tidak terlibat dalam perselisihan antara Syeikh Hamzah Fansuri yang membawa faham Wihdatul Wujud (Wujudiah) dengan Syeikh Nuruddin Ar Raniry yang berfaham Isnainiyatul Wujud.
Dalam suatu perayaan mauled Nabi Muhammad SAW di Kerajaan Aceh. Syeikh Abdur Rauf yang sudah dikenal saat itu, diundang ke Keraton Darud Dunia. Ia datang dengan identitas sebagai nelayan, tanpa memperlihatkan pengetahuannya sebagai seorang ulama.
Langkah itu dilakukan untuk tidak terlibat dalam perselisihan antara Syeikh Hamzah Fansuri yang membawa faham Wihdatul Wujud (Wujudiah) dengan Syeikh Nuruddin Ar Raniry yang berfaham Isnainiyatul Wujud.
Karena sudah mendengar tentang kehebatan Syeikh Abdur Rauf, akhirnya sultanah Aceh, Ratu Safiatuddin memintanya untuk menyampaikan ceramah maulid. Ia pun menyampaikannya dengan fasih. Ceramahnya mendapat perhatian yang luar biasa.
Ratu Safiatuddin tidak percaya kalau Syeikh Abdur Rauf hanya seorang nelayan biasa. Setelah ditanyai berbagai hal, akhirnya Syeikh Abdur Rauf pun memperkenalkan dirinya yang asli sebagai ulama, sekalian pamit untuk kembali ke kampung halamannya di Aceh Singkil.
Tak lama di Singkil, Syeikh Abdur Rauf melanjutkan perjalanannya ke Barus dan wilayah pantai barat Sumatera. Setelah itu ia kembali ke Bandar Kerjaan Aceh. Dalam perjalanan kembali ia juga sempat menjelajah pantai timur Kerjaan Aceh.
Pengebaraannya mengelilingi Kerjaan Aceh dan pantai barat Sumatera itu menyita waktu sampai tiga tahun. Dalam perjalanannya itu, Syeikh Abdur Rauf berdakwah dari satu daerah ke daerah lainnya.
Pada masa mengembara, baik ketika 20 tahun di Jazirah Arab maupun di Aceh, Syeikh Abdur Rauf selain berdakwah juga menulis berbagai kitab. Ratu Safiatuddin beberapa kali mengirim utusan untuk menjemputnya.
Ratu Safiatuddin bermaksud mengangkat Syeikh Abdur Rauf sebagai Qadhi Malikul Adil, Mufti Besar Kerajaan. Jabatan tersebut saat itu telah kosong, setelah ditinggalkan Syeikh Nurruddin Ar Raniry yang kembali ke negerinya di Gujarat, India pada tahun 1658 Masehi atau 1068 Hijriah. Baru pada bulan Rabiul Awal tahun 1075 Hijriah atau 1665 Masehi, Syeikh Abdur Rauf resmi diangkat menjadi Qadhi Malikul Adil, Mufti Besar Kerajaan Aceh.
Jabatan itu dipegangnya selama empat periode pergantian raja di Kerajaan Aceh, yakni : Sultanah Sri Ratu Safiatuddin Johan Berdaulat (1050 – 1086 H/1641 – 1675 M), Sultanah Sri Ratu Nurul Alam Naqiatuddin (1086 – 1088 H/1675 – 1678 M), Sultanah Zakiatuddin Inayat Syah (1088 – 1098 H/1678 – 1688 M), serta Sultanah Sri Ratu Keumalatuddin Syah (1098 - 1109 H/1688 – 1699 M).
Sebagai Mufti, berbagai terobosan dan perombakan sistim pemerintahan dilakukan Syeikh Abdur Rauf. Berbagai usaha yang hendak menumbankan dinasti ratu dengan pengaruh Syeikh Abdur Rauf dapat dipatahkan.
Usaha kelompok yang ingin merebut pimpinan kerajaan mencapai puncaknya pada masa pemerintahan Ratu Zaqiatuddin. Saat itu golongan yang ingin merebut tampuk pimpinan Kerajaan Aceh memperalat kaum penganut Wujudiah.
Pertentangan tersebut kemudian membuat Mesjid Baiturrahim dan Keraton Darud Dunia terbakar. Namun, sebagai Mufti yang arif, Syeikh Abdur Rauf mampu meredam gejolak tersebut. Untuk mencegah terulangnya kembali kerusuhan sesama ummat, Syeikh Abdur Rauf pun melakukan perombakan sistim pemerintahan kerajaan.
Perombakan dilakukan dengan mengajukan sebuah konsepsi tata negara Kerajaan Aceh. Setelah dibahas di Majelis Mahkamah Rakyat, konsepsi Syeikh Abdur Rauf pun diterima tanpa pertentangan. Konsepsi tersebut mengatur berbagai hal, satunya tentang pembagian kekuasaan Wilayah Aceh Besar menjadi tiga sagi, yang dikenal dengan Aceh Lhèè Sagoë.
Dalam konsepsi itu, Syeikh Abdur Rauf mengatur, ketiga pemimpin Sagi (Sagoë) bersama Qadhi Malikul Adil berhak mengangkat dan menurunkan sultan dari jabatannya. Sementara daerah di luar Aceh Lhèè Sagoë diberi hak otonomi yang luas, dimana kepala daerahnya bertindak sebagai sultan kecil yang tunduk kepada Sultan Aceh.
Sepanjang hidupnya, Syeikh Abdur Rauf dikenal sebagai negarawan, ulama, politikus dan pengarang berbagai kitab. Mufti kerjaan Aceh itu wafat pada 23 Syawal 1106 Hijriah atau tahun 1695 Masehi. [iskandar norman]
You Might Also Like :
0 comments:
Post a Comment