Tipsone(Free Tips and Trick)

Paypal For Business

Free Premium Themes

Thursday, December 11, 2008

Pasukan Belanda Juga Pakai Rencong


1:47 PM | ,

Marsose saat awal pembentukannya hanyalah pasukan elit Belanda yang ditenpatkan diperbentengan terpusat. Baru setelah dipersenjatai dengan senjata barat dan senjata khas pejuang Aceh, mereka berani bertempur di luar benteng. Melawan orang Aceh dengan senjata yang sama dipakai oleh orang Aceh; kelewang dan rencong plus senapang.


Orang Aceh sangat membenci tentara elit Belanda: Marsose. Malah kepada korp tentara yang sangat beringas itu, Dokarim pengarang hikayat Prang Kompeuni menyebut mereka dengan lakab Majusi yakni kafir nomor tiga setelah nasrani dan yahudi.


Namun pada awal-awal pembentukannya, pasukan marsose lebih banyak berada dalam benteng terpusat ketimbang memburu gerilyawan Aceh. Mereka juga dilarang oleh Gubernur Militer Hindia Belanda untuk melakukan tindakan-tindakan diluar perbentengan terpusat.




Untuk menghadapi kelihaian dan kelicikan gerilyawan Aceh, marsose kemudian dipersenjatakai dengan kombinasi senjata barat dan senjata Aceh untuk menandingi kegesitan pejuang Aceh.


Dalam hikayatnya, Dokarim menggambarkan marsose itu sebagai serdadu-serdadu yang sombong dan congkak, yang menahan penduduk secara sembrono, menendang serta memukulinya.


Hikayat itu ditulis Dokarim dalam periode perbentengan terpusat. Dimana pasukan Belanda menerpakan pertahanan pada benteng-benteng tertentu untuk menghadapi perlawanan rakyat Aceh. Pada masa inilah pasukan marsose itu kerap mendapat surat-surat tantangan dari Cut Ali, seorang Panglima Perang Aceh.


Dalam surat-suratnya Cut Ali menentang masrose untuk keluar dari bentengnya untuk berperang dengan gerilyawan pejuang Aceh. Seperti pada tahun 1926 Cut Ali mengirim surat ke pada komandan marose di Bivak Ladang Rimba, Behrens. “Saya berada disini dengan 80 pasukan, dan kalau tuan tidak datang dengan sekurang-kurangnya 120 serdadu, lebih baik tinggal di rumah saja.” Tulis Cut Ali dalam surat tantangannya itu.


Dalam perbentengan terpusat itu, korps marsose sebagai pasukan yang baru dibentuk tidak dapat bergerak. Mereka lebih banyak diinstruksikan untuk bertahan secara hati-hati. Adalah Kapten Notten komandan pertama marsose. Pasukan elit ini dilengkapi dengan persenjataan gabungan senjata barat dan senjata orang-orang timur.


Malah ada juga korp marsose yang memakai pedang dan rencong, untuk menandingi kegesitan gerilayawan Aceh. “Begitulah para opsir rendah serta bawahan diberikan senapang-senapang karaben, tetapi juga kelewang dan rencong Aceh.


Pada gambar foto yang menghiasi bagian tulisan inidapat dilihat rencong dalam sarungnya tersisip di pinggang mereka,” tulis H C Zentgraaff dalam bukunya “Atjeh”.


Bila sebelumnya tentara bayaran Belanda, baik yang didatankan dari Eropa maupun dari Jawa ke Aceh, banyak yang tidak memakai sepatu, sehingga dalam perang-perang di lereng-lereng bukit atau pegunungan sering kwalahan dan kalah ditangan pejuang Aceh. Hanyalah,kepada fuselier-fuselier Inlader yang kaki-kakinya cacad, atas nasehat dokter, baru diberikan memakai sepatu.Pada waktu itu bagian pasukan infantri Belanda yang terdiri dari inlander tidaklah bersepatu, suatu pasukan infantri sering berbaris dengan kaki telanjang.


Menyadari hal tersebut, Belanda kemudian memberikan seragam khusus lengkap dengan sepatu kepada pasukan marsose sebagai pasukan khusus. Marsose-marsose suku Jawa diberikan sepatu.Keputusan itu diambil setelah banyaknya marsose yang mengalami sekarat karena kakinya sering kenak bambu-bambu runcing yang dijadikan sebagai ranjau di jalan-jalan setapak oleh gerilyawan Aceh. “Bagaimana serdadau-serdadau infanteri seperti itu harus bergerak di yang medan peran, yang kadang-kadang harus melewati tempat-tempat yang dipenuhi ranjau (bambu-bambu yang diruncingkan dan ujungnya dikerakan dengan cara dibakar, kemudian ditanam separonya di dalam tanah) sebelum mereka dapat menyerbu pertahanan lahan.


Hal itu sampai sekarang masih tetap menjadi teka-teki bagi kita,” lanjut Zentgraaff.Dengan persenjataan yang tergolong elit waktu itu, serta seragam yang gagah, menurut Zentgraaff telah mampu mendongkrak semangat pasukan Belanda. Tapi meskipun demikian pasukan marsose yang baru dibentuk tersebut walaupun dalam pergerakannya sangat ofensip, mereka tetap tertahan dalam gerak memburu pasukan Aceh. “Mereka tertahan dengan pemikiran waktu itu, yakni sabar menunggu sampai pasukan Aceh datang mendekat,” jelas Zentgraaff.


Zentgraaff pun kemudian mengutip sebuah catatan tentang marsose dalam buku kapten Struijvenberg. Dalam buku itu Struijvenberg menulis bahwa pada suatu malam seorang komandan brigade marsose masuk sedikit daerah yang dikuasai gerilyawan Aceh. Perang pun pecah.


Kapten Notten sebagai komandan marsose menegur dengan tegas opsir yang masuk dan bereprang dalam wilayah kekuasaan gerilayawan Aceh itu. Malah opsir itu kemudan dituntut karena mengambil tindakan sendiri-sendiri yang sangat membahayakan pasukan Belanda. “Gubernur Militer Hindia Belanda di Aceh dicela dengan keras, karena menuntut dia. Hal itu tidak pantas untuk dipuji, melainkan diberi hukuman,” tulis Zentgraaff.


Dalam tiga pucuk surat dari Gubernur Militer Hindia Belanda kepada komandan paskan, masing-masing tertanggal 10 September, 26 Oktober dan 21 Desember 1892 disebutkan “ Dalam hubungannya dengan tugas-tugas yang dibebankan kepad korps Marsose, haruslah ada suatu pengecualian yang besar, dimana para komandan brigade pergi ke luar pertahanan, untuk megadakan pengintaian-penginataian, atau untuk melakukan pekerjaan apa saja! Bepergian keluar benteng lebih-lebih tidak dibenarkan karena para komandan brigade, dan biasanya para opsir bawahan yang melakukannya, yang berdasarkan pengalaman, biasanya dikerjakan untuk membuktikan suatu tindak kepahlawanan, sedangkan hasilnya seringkali sangat tidak memadai,” tulis Gubernur Militer Hindia Belanda di Aceh.


Sementara dalam surat tanggal 26 Oktober 1892 disebutkan bahwa kepada para marsose tidak dibenarkan mengadakan tindakan ofensip di luar benteng dengan cara membuat jebakan maupun dengan melakukan patroli-patroli.Sementara diakhir surat tanggal 21 Desember 1892 diterangkan bahwa berdadsarkan surat rahasia dari Departemen Peperangan (Departemen van Oorlog) Afdeling VII, tanggal 9 Desember 1892 nomor 814, ditetapkan bahwa kegiatan diluar benteng terpusat tidak dibenarkan.


Kemudian pada penghujung tahun 1895, Kapten Graafland diangkat menjadi Komandan Korp Marsose menggantikan Kapten Notten. Dibawah pimpinan Graafland marsose sedikit demi sedikit bisa keluar dari perbentengan terpusat dan berperang di laur benteng dengan gerilyawan Aceh. [Iskandar Norman]


Share
You Might Also Like :


0 comments: