Tahun 1873 pecah perang Aceh melawan Belanda. Perang Aceh disebabkan karena:
1. Belanda menduduki daerah Siak. Akibat dari perjanjian Siak 1858. Dimana Sultan Ismail menyerahkan daerah Deli, Langkat, Asahan dan Serdang kepada Belanda, padahal daerah-daerah itu sejak Sultan Iskandar Muda ada dibawah kekuasaan Aceh.
2. Belanda melanggar Siak, maka berakhirlah perjanjian London (1824). Dimana isi perjanjian London adalah Belanda dan Inggris membuat ketentuan tentang batas-batas kekuasaan kedua daerah di Asia Tenggara yaitu dengan garis lintang Sinagpura. Keduanya mengakui kedaulatan Aceh.
3. Aceh menuduh Belanda tidak menepati janjinya, sehingga kapal-kapal Belanda yang lewat perairan Aceh ditenggelamkan Aceh. Perbuatan Aceh ini disetujui Inggris, karena memang Belanda bersalah.
4. Di bukanya terusan Suez oleh Ferdinand de Lessep. Menyebabkan perairan Aceh menjadi sangat penting untuk lalulintas perdagangan.
5. Dibuatnya Perjanjian Sumatera 1871 antara Inggris dan Belanda, yang isinya, Inggris memberika keleluasaan kepada Belanda untuk mengambil tindakan di Aceh. Belanda harus menjaga keamanan lalulintas di Selat Sumatera. Belanda mengizinkan Inggris bebas berdagang di Siak dan menyerahkan daerahnya di Guinea Barat kepada Inggris.
6. Akibat perjanjian Sumatera 1871, Aceh mengadakan hubungan diplomatik dengan Konsul Amerika, Italia, Turki di Singapura. Dan mengirimkan utusan ke Turki 1871.
7. Akibat hubungan diplomatik Aceh dengan Konsul Amerika, Italia dan Turki di Singapura, Belanda menjadikan itu sebagai alasan untuk menyerang Aceh. Wakil Presiden Dewan Hindia Nieuwenhuyzen dengan 2 kapal perangnya datang ke Aceh dan meminta keterangan dari Sultan Machmud Syah tengtang apa yang sudah dibicarakan di Singapura itu, tetapi Sultan Machmud menolak untuk memberikan keterangan.
Belanda menyatakan perang terhadap Aceh pada 26 Maret 1873 setelah melakukan beberapa ancaman diplomatik. Sebuah ekspedisi dengan 3.000 serdadu yang dipimpin Mayor Jenderal Köhler dikirimkan pada tahun 1874, namun dikalahkan tentara Aceh, di bawah pimpinan Panglima Polem dan Sultan Machmud Syah, yang telah memodernisasikan senjatanya. Köhler sendiri berhasil dibunuh pada tanggal 10 April 1873.
Ekspedisi kedua di bawah pimpinan Jenderal van Swieten berhasil merebut istana sultan. Ketika Sultan Machmud Syah wafat 26 Januari 1874, digantikan oleh Tuanku Muhammad Dawot yang dinobatkan sebagai Sultan di masjid Indragiri. Pada 13 Oktober 1880, pemerintah kolonial menyatakan bahwa perang telah berakhir.
Bagaimanapun, perang dilanjutkan secara gerilya dan perang fi'sabilillah dikobarkan, di mana sistem perang gerilya ini dilangsungkan sampai tahun 1904. Pada masa perang dengan Belanda, Kesultanan Aceh sempat meminta bantuan kepada perwakilan Amerika Serikat di Singapura yang disinggahi Panglima Tibang Muhammad dalam perjalanannya menuju Pelantikan Kaisar Napoleon III di Perancis.
Aceh juga mengirim Habib Abdurrahman untuk meminta bantuan kepada Kekaisaran Ottoman. Namun Kekaisaran Ottoman kala itu sudah mengalami masa kemunduran. Sedangkan Amerika menolak campur tangan dalam urusan Aceh dan Belanda. Perang kembali berkobar pada tahun 1883.
Pasukan Belanda berusaha membebaskan para pelaut Britania yang sedang ditawan di salah satu wilayah kekuasaan Kesultanan Aceh, dan menyerang kawasan tersebut. Sultan Aceh menyerahkan para tawanan dan menerima bayaran yang cukup besar sebagai gantinya. Sementara itu, Menteri Perang Belanda, Weitzel, kembali menyatakan perang terbuka melawan Aceh.
Belanda kali ini meminta bantuan para pemimpin setempat, di antaranya Teuku Umar. Teuku Umar diberikan gelar panglima prang besar dan pada 1 Januari 1894 bahkan menerima dana bantuan Belanda untuk membangun pasukannya. Ternyata dua tahun kemudian Teuku Umar malah menyerang Belanda dengan pasukan baru tersebut. Dalam perang gerilya ini Teuku Umar bersama Panglima Polem dan Sultan terus tanpa pantang mundur.
Tetapi pada tahun 1899 ketika terjadi serangan mendadak dari pihak Van Der Dussen di Meulaboh Teuku Umar gugur. Tetapi Cut Nya' Dien istri Teuku Ummar siap tampil menjadi komandan perang gerilya. Pada 1892 dan 1893, pihak Belanda menganggap bahwa mereka telah gagal merebut Aceh.
Dr. Snoeck Hurgronje, seorang ahli Islam dari Universitas Leiden yang telah berhasil mendapatkan kepercayaan dari banyak pemimpin Aceh, kemudian memberikan saran kepada Belanda agar serangan mereka diarahkan kepada para ulama, bukan kepada sultan. Saran ini ternyata berhasil. Dr Snouck Hurgronye yang menyamar selama 2 tahun di pedalaman Aceh untuk meneliti kemasyarakatan dan ketatanegaraan Aceh.
Hasil kerjanya itu dibukukan dengan judul Rakyat Aceh ( De Acehers). Dalam buku itu disebutkan rahasia bagaimana untuk menaklukkan Aceh.
Isi nasehat Snouck Hurgronye kepada Gubernur Militer Belanda yang bertugas di Aceh adalah:
1. Mengesampingkan golongan Keumala (yaitu Sultan yang berkedudukan di Keumala) beserta pengikutnya.
2. Senantiasa menyerang dan menghantam kaum ulama.
3. Jangan mau berunding dengan para pimpinan gerilya.
4. Mendirikan pangkalan tetap di Aceh Raya.
5. Menunjukkan niat baik Belanda kepada rakyat Aceh, dengan cara mendirikan langgar, masjid, memperbaiki jalan-jalan irigasi dan membantu pekerjaan sosial rakyat Aceh.
Pada tahun 1898, J.B. van Heutsz dinyatakan sebagai gubernur Aceh pada 1898-1904, kemudian Dr Snouck Hurgronye diangkat sebagai penasehatnya, dan bersama letnannya, Hendrikus Colijn (kelak menjadi Perdana Menteri Belanda), merebut sebagian besar Aceh.
Sultan M. Daud akhirnya meyerahkan diri kepada Belanda pada tahun 1903 setelah dua istrinya, anak serta ibundanya terlebih dahulu ditangkap oleh Belanda. Kesultanan Aceh akhirnya jatuh seluruhnya pada tahun 1904.
Istana Kesultanan Aceh kemudian di luluhlantakkan dan diganti dengan bangunan baru yang sekarang dikenal dengan nama Pendopo Gubernur. Pada tahun tersebut, hampir seluruh Aceh telah direbut Belanda. Taktik perang gerilya Aceh ditiru oleh Van Heutz, dimana dibentuk pasukan marsuse yang dipimpin oleh Christoffel dengan pasukan Colone Macannya yang telah mampu dan menguasai pegunungan-pegunungan, hutan-hutan rimba raya Aceh untuk mencari dan mengejar gerilyawan-gerilyawan Aceh.
Taktik berikutnya yang dilakukan Belanda adalah dengan cara penculikan anggota keluarga Gerilyawan Aceh. Misalnya Christoffel menculik permaisuri Sultan dan Tengku Putroe (1902). Van Der Maaten menawan putera Sultan Tuanku Ibrahim. Akibatnya, Sultan menyerah pada tanggal 5 Januari 1902 ke Sigli dan berdamai.
Van Der Maaten dengan diam-diam menyergap Tangse kembali, Panglima Polem dapat meloloskan diri, tetapi sebagai gantinya ditangkap putera Panglima Polem, Cut Po Radeu saudara perempuannya dan beberapa keluarga terdekatnya. Akibatnya Panglima Polem meletakkan senjata dan menyerah ke Lo' Seumawe (1903).
Akibat Panglima Polem menyerah, banyak penghulu-penghulu rakyat yang menyerah mengikuti jejak Panglima Polem. Taktik selanjutnya, pembersihan dengan cara membunuh rakyat Aceh yang dilakukan dibawah pimpinan Van Daalen yang menggantikan Van Heutz. Seperti pembunuhan di Kuta Reh (14 Juni 1904) dimana 2922 orang dibunuhnya, yang terdiri dari 1773 laki-laki dan 1149 perempuan.
Taktik terakhir menangkap Cut Nya' Dien istri Teuku Umar yang masih melakukan perlawanan secara gerilya, dimana akhirnya Cut Nya' Dien dapat ditangkap dan diasingkan ke Sumedang, Jawa Barat. Surat Perjanjian Pendek Tanda Menyerah Ciptaan Van Heutz Van Heutz telah menciptakan surat pendek penyerahan yang harus ditandatangani oleh para pemimpin Aceh yang telah tertangkap dan menyerah.
Dimana isi dari surat pendek penyerahan diri itu berisikan, Raja (Sultan) mengakui daerahnya sebagai bagian dari daerah Hindia Belanda. Raja berjanji tidak akan mengadakan hubungan dengan kekuasaan di luar negeri. Berjanji akan mematuhi seluruh perintah-perintah yang ditetapkan Belanda. (RH Saragih, J Sirait, M Simamora, Sejarah Nasional, 1987)
You Might Also Like :
0 comments:
Post a Comment