Tipsone(Free Tips and Trick)

Paypal For Business

Free Premium Themes

Friday, November 21, 2008

“Aceh Sepanjang Abad” Jadi Buku Induk Sejarah Aceh


7:46 PM |

Buku “Aceh Sepanjang Abad” karangan Muhammad Said harus dijadikan buku induk sejarah Aceh, karena isinya sangat lengkap menceritakan fakta yang pernah terjadi mulai abad ke-16 sampai abad ke-19, kata Anggota DPR Aceh, Ameer Hamzah, pada seminar bedah buku “Aceh Sepanjang Abad” di Banda Aceh, Senin [12/11].

“Ketika saya masih kuliah di IAIN, buku ini sudah dibaca. Jadi, buku tersebut sangat baik sebagai buku panduan bagi mahasiswa dan dosen untuk belajar sejarah Aceh,” kata Ameer Hamzah. Dosen sejarah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Banda Aceh, Drs. Rusdi Sufi juga menyatakan, buku tersebut sudah cukup standar untuk Aceh, karena penulis yang merupakan wartawan legendaris itu memadukan sumber-sumber dari dalam dan luar negeri.


“Kalau bicara tidak lengkap, memang setiap buku yang menulis tentang sejarah tidak pernah lengkap, tapi keberadaan buku ‘Aceh Sepanjang Abad’ tersebut telah menambah referensi sejarah Aceh yang dinilai cukup lengkap,” katanya.

Hal yang sama juga dikemukakan Kepala Museum Banda Aceh, Drs. Nurdin, yang menyatakan, buku tersebut merupakan buku sejarah terlengkap yang mengungkapkan peristiwa demi peristiwa sejarah Aceh dalam periode klasik hingga peristiwa sejarah Aceh kontemporer.

Bila dibandingkan buku “Kerajaan Aceh Zaman Sultan Iskandar Muda” karangan Danys Lombard, maka buku “Aceh Sepanjang Abad” jauh lebih lengkap. Buku Lombard hanya mengungkap sejarah Aceh dalam periode 1607-1636, sedangkan buku Muhammad Said sampai perjuangan Aceh sampai tahun 1945.

Tribuana Said, putra pertama Muhamamad Said menyatakan, lahirnya buku tersebut untuk meluruskan sejarah sesuai fakta yang sebenarnya terjadi di Aceh, karena sebelum buku itu terbit banyak buku tentang Aceh yang ditulis oleh penulis asing terutama bangsa Belanda hanya mengisahkan keadaan Aceh sesuai versi mereka.

Buku yang pernah diterbitkan pada tahun 1962 tersebut mengulas tentang keberadaan Aceh sejak awal Masehi sampai abad XIX Masehi di awal kemerdekaan RI. Buku itu terdiri dari dua jilid. Jilid pertama terdiri dari 19 bab dan jilid kedua 16 bab.

Buku yang pernah dicetak ulang tahun 1980 itu menguraikan tentang pemikiran penulis, Mohammad Said tentang Aceh dari berbagai referensi dan sumber bacaan terbitan lokal dan internasional berbahasa Inggeris dan Belanda.

Tribuana Said menyatakan, melalui seminar ini diharapkan akan muncul ide-ide dan usulan baru untuk menambah kesempurnaan buku tersebut.

Menurut Direktur Eksekutif Lembaga Pendidikan Doktor Soetomo (LPDS) Jakarta itu, buku tersebut masih banyak kekurangan yang belum sempat ditulis oleh almarhum ayahnya. Dikatakan, sebenarnya masih banyak peristiwa sejarah yang pernah dilakukan rakyat Aceh pada masa lalu, khususnya kaum wanita, namun belum tertuang dalam buku tersebut.

Oleh karenanya, sebelum buku tersebut dicetak secara permanen, perlu adanya kritikan dan penambahan, sehingga keberadaan buku itu lebih lengkap lagi, kata Tribuana Said.



Perbanyak Literatur Sejarah Aceh

Pemerintah Provinsi (Pemprov) Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) kini memperbanyak literatur sejarah, termasuk upaya mencetak ulang berbagai buku sejarah yang berkaitan dengan pergolakan bersenjata dengan penjajahan Belanda tempo dulu.

“Buku-buku sejarah Aceh memang penting untuk dipelajari kembali oleh generasi sekarang dan yang akan datang, sehingga Pemerintah Aceh memberi dukungan penuh untuk memperbanyak kembali literatur sejarah Aceh,” kata Gubernur Irwandi Yusuf di Banda Aceh, Senin.

Ketika membuka seminar bedah buku “Aceh Sepanjang Abad” karangan Muhammad Said, Gubernur mengatakan, upaya tersebut penting sebagai bahan pengetahuan bagi generasi muda sekarang dan masa mendatang.

Dalam sambutan tertulis yang dibacakan Kepala Biro Keistimewaan Aceh Setwilprov Aceh, Bustami Usman, Irwandi berharap agar upaya seperti itu tidak hanya dilakukan pemerintah, tetapi juga berbagai pihak lainnya untuk mencetak ulang buku-buku sejarah.

“Saya berpikir, tujuan mencetak ulang buku sejarah penting dilakukan agar anak-anak bangsa dapat membaca dan memahami sejarah Aceh yang sesungguhnya,” katanya.

Banyak buku sejarah masa lalu seperti “Aceh Sepanjang Abad, Kerajaan Aceh Zaman Sultan Iskandar Muda, Aceh Nusantara, dan Srikandi Aceh,” yang terkadang ditulis dan diterbitkan sekitar 50 tahun lalu.

Aceh dalam perjalanannya memiliki lika-liku sejarah yang panjang dan unik, seakan tidak pernah habis-habisnya untuk dikupas. Ini dikarenakan sejarah Aceh merupakan sejarah yang berhubungan langsung dengan peristiwa sejarah dunia, baik sebelum datangnya Islam maupun setelah Aceh dipengaruhi oleh agama Islam.

Secara garis besar, gerak sejarah Aceh dapat dibagi dalam beberapa periodisasi, dimana setiap periode mengandung peristiwa sejarah tersendiri, yaitu periode sejarah klasik dan periode sejarah kontemporer.

Periode klasik, tanah Aceh dimulai sejak zaman pra sejarah, kemudian zaman pengaruh Hindu, dan Budha, terus zaman msuknya agama Islam dengan berdirinya kerajaan Islam Samudra Pasai.

Periode selanjutnya adalah zaman bangkitnya kerajaan Aceh Darussalam yang disebut-sebut sebagai zaman puncaknya kejayaan peradaban Aceh. Di zaman itu, interaksi Aceh terjadi dengan berbagai dunia luar, ujar Gubernur.

Dalam bidang pengembangan ilmu pengetahuan agama, Gubernur mencontohkan, Aceh saat itu berinteraksi dengan ulama-ulama Haramain (Timur Tengah) dan Gujarat India, bidang teknologi berhubungan dengan Turki di zaman Daulah Usmaniah.

Setelah itu, Aceh memasuki periode sejarah yang menegangkan, karena dalam periode itu, Aceh mulai berhadapan dengan bangsa-angsa kolonial, Portugis, Inggris, dan Belanda, jelas Irwandi.

Periode kontemporer, dapat dibagi dalam beberapa peristiwa sejarah, terutama sejarah zaman Jepang, dan zaman awal kemerdekaan yang di dalam periode itu juga terjadi peristiwa yang sangat pedih, yaitu peristiwa perang Cumbok dan DI/TII, ujarnya.

Setelah peristiwa itu usai, lalu terjadi peristiwa bangkitnya angkatan Darussalam sebagai sejarah bangkitnya kaum intelektual baru.

Namun, di tengah-tengah kebangkitan kaum intelektual, Aceh juga membuat suatu periode lain yang dimulai dari tahun 1970-an hingga memasuki tahun 2000-an, yaitu sejarah terjadinya konflik Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Pemerintah Jakarta. “Kini, Aceh sudah berada dalam periode damai, di antaranya melalui nafas MoU Damai Helsinki,” kata Gubernur Irwandi Yusuf. ( ant )


Share
You Might Also Like :


0 comments: