Alkisah dalam Hikayat Aceh dan Hikayat Raja-raja Pasai, asal-usul yang menurunkan kemuliaan dan kebesaran Sultan Iskandar Muda yang bertakhta di Aceh Darussalam dan raja-raja Samodra Pase (Aceh Utara) adalah rahim bidadari yang diberi nama Putri Betung. Ia adalah anak bidadari yang ditemukan Raja Muhammad di hutan. Raja mengangkatnya sebagai anak dan kelak dinikahkan dengan Merah Gajah, anak raja Ahmad, saudara tua Raja Muhammad. Versi Hikayat Aceh menyebutkan perkawinan Putri Betung dengan Merah Gajah melahirkan dua anak, laki-laki dan perempuan, masing-masing bernama Sultan Ibrahim Syah dan Putri Sapiah. Sementara versi Hikayat Raja-raja Pasai menyatakan bahwa Putri Betung melahirkan dua anak laki-laki bernama Merah Silu yang selanjutnya bergelar Sultan Malik As Shaleh, pendiri Kerajaan Samodra Pase, dan Merah Hanum.
Kisah Putri Betung ini menarik untuk disimak karena selain memiliki simbol sebagai Rahim Mulia, yang menjadi perantara lahirnya raja-raja besar, juga memiliki cacat tubuh. Lazimnya, seorang putri adalah perempuan yang digambarkan cantik jelita, dengan tubuh sempurna, dan perilaku patut. Namun, menurut Hikayat Aceh, di bagian kanan dagu sang putri ditumbuhi sehelai rambut panjang dan berwarna putih mencolok. Sang suami, Merah Gajah yang bergelar Raja Syah Muhammad, tak senang terhadap "ketaksempurnaan" di tubuh istrinya. Pada suatu hari, sang raja meminta agar istrinya mencabut "rambut asing" di tubuhnya itu. Permintaan ini ditampik sang putri dengan alasan jika rambut itu dicabut niscaya akan terjadi perceraian di antara mereka. Sang raja diam saja, namun di saat melihat sang istri sedang tidur, dicabutnya "rambut asing" tadi. Maka terjadilah… dari dagu sang dewi, dari liang bekas cabutan rambut, mengalir tiga titik darah putih, Putri Betung pun meninggal.
Kejadian itu membuat Raja Muhammad, ayah Putri Betung, marah. Dikirimnya pasukan untuk menyerbu Raja Muhammad Syah hingga terbunuh. Ketika mendengar sang raja terbunuh, Raja Ahmad pun marah, lalu mengirim pasukan untuk menyerbu Raja Muhammad. Dua bersaudara itu pun berperang hingga musnahlah dua kerajaan itu.
Jadi, dari rahim Putri Betunglah lahir raja-raja, yang uniknya diakui oleh kemaharajaan Aceh Darussalam dan Samodra Pase. Kedua kemaharajaan itu bersaing memperebutkan Putri Betung, yang berasal dari dunia supernatural, untuk melegitimasi kebesarannya. Serupa dengan ini adalah raja-raja Mataram yang selalu dikisahkan beristri Ratu Kidul. Artinya, keadiluhungan seorang raja dikarenakan menguasai dua dunia, supernatural dan natural. Sedangkan Merah Gajah, selaku ayah yang menurunkan raja-raja besar itu, tak diketahui asal-usulnya. Meski begitu, kekuasaan Putri Betung itu hanya ditempatkan sebagai perantara atau agen yang melahirkan raja-raja besar (baca: kekuasaan laki-laki).
Hal ini dinyatakan Jacqueline sebagai konstruksi negosiasi dari ketegangan "perkawinan" matrifokal, yang mendominasi kekuasaan perempuan, dengan Islam, yang menghegemoni kekuasaan laki-laki, pada waktu itu. Lalu, untuk melenyapkan Putri Betung dibuat paradoks cacat tubuh sebagai pemicu penghancuran asketisme. Diskursus matrifokal menjadi tersubordinasi ke Islam, yang mengagungkan raja sebagai "khalifah Tuhan di Bumi", sedangkan para bidadari dari dunia supernatural seperti Putri Betung dienyahkan ke wilayah mitos dan ritual.
Diskursus yang berlainan diambil dari kisah Istri Pak Pande (dari kata pandir), yang berlatar hidup di pedesaan. Perempuan ini digambarkan memiliki karakter aktif, mobilitas tinggi, dan bertubuh perkasa. Setelah kawin, Pak Pande tinggal di rumah istrinya (matrifokal). Tetapi Pak Pande ini pemalas, setiap hari hanya duduk-duduk saja di samping rumah, sementara istrinya menyelenggarakan seluruh pekerjaan rumah tangga.
Suatu hari sang istri berkata kepada Pak Pande, "Daripada duduk-duduk malas begitu, lebih baik pergi ke sungai cari deut-deut buta (’ikan buta’)." Pergilah Pak Pande dengan membawa segala peranti penangkap ikan. Setiba di sungai, ia menggali semacam kanal agar ikan-ikan sungai masuk ke situ, lalu menyumbat muara kanal, dan mulai bekerja hingga siang untuk mengeringkan airnya. Segala ikan besar dan kecil, udang, kerang, dan berbagai jenis binatang sungai itu mulai tampak. Pak Pande menangkap satu per satu ikan itu untuk dilihat apakah ada yang bermata buta. Hasilnya nihil! Maka pulanglah Pak Pande dengan perasaan lunglai. Istrinya menanyakan hasil kerjanya yang dijawab dengan rasa sedih, "Tak ada yang buta ikannya". Mendengar jawaban itu, sang istri geram dan memaki kebodohan suaminya karena yang dimaksud deut-deut buta bukanlah ikan bermata buta, melainkan berarti ikan apa saja. Setelah itu sang istri pergi ke sungai, dan betapa suka citanya melihat berbagai ikan dalam berbagai ukuran, hasil kerja Pak Pande tadi, telah tersedia di situ. Hasil kerja Pak Pande tadi diolah sang istri.
Berbagai kebodohan lain dilakukan Pak Pande hingga sang istri merasa tak sanggup bertahan hidup bersama suami yang bodoh. Maka ia pun berniat minggat dari rumah, meninggalkan suaminya. Ia siapkan perbekalan ke dalam karung goni, lalu meletakkannya di dekat pintu. Ketika sang istri tertidur, Pak Pande terbangun dan mendapati makanan dalam karung goni tadi. Ia pun memakannya dan tertidur di dalam karung goni. Keesokan hari, sang istri mengambil karung itu dan minggat dari rumah. Ternyata Pak Pande tetap ikut serta di dalam karung yang dipanggulnya. Perjalanan cukup panjang hingga mereka memutuskan tinggal di rumah raksasa yang diusir Pak Pande dengan muslihat. Istri Pak Pande membuka ladang di sekitar rumah, sementara Pak Pande hanya bermain musik, drum, dan serunai milik raksasa. Cerita lisan itu merepresentasikan istri Pak Pande yang memegang kuasa atas penciptaan ruang-ruang berkegiatan hidup dan pembagian kerja secara seksual di dalamnya, termasuk memelihara tradisi sistem kepercayaan dalam kampungnya (nya = perempuan) seperti kenduri untuk nenek moyang. Tradisi ini masih kita jumpai sampai sekarang. Ketika terjadi pengungsian, ibu-ibu Aceh dari pedesaan itu mengadakan peusijeuk, yakni kenduri untuk menciptakan rasa sejuk, damai, dan selamat.
Pembagian kerja secara seksual semacam itu masih berlaku hingga kini. Seperti yang terjadi pada, sebut saja Pak Malim, yang tinggal di Pidie. Ia beristri dua. Keduanya memiliki mata pencaharian sendiri, istri pertama membuat emping melinjo, sedangkan istri kedua berdagang kerajinan di pasar. Ketika saya tanya apa kerja Pak Malim, dijawabnya: "Duduk saja di kedai kopi bertemu orang". Artinya, pada waktu itu adalah "berpolitik". Jelasnya, ia termasuk sukarelawan yang mendata korban operasi militer sejak 1989.
You Might Also Like :
0 comments:
Post a Comment