TRAGEDI BANTAQIYAH: LADANG PEMBANTAIAN BARU DI ACEH
Laporan Mukhtaruddin Yakub (Wartawan Buletin NANGGROE, WALHI Aceh)
Pembantaian Itu
Saudah (21) tak mampu buka suara. Mulutnya kaku dan gemetaran menatap gundukan tanah dari salah satu kuburan massal tanpa nisan yang dibongkar Kamis (29/7) lalu. Jenasah-jenasah di dua kuburan massal itu digali untuk dikuburkan kembali secara islami. Ia menanti dengan harap-harap cemas kalau suami, ayah serta iparnya berada di sana. Air bening tak kuasa dibendung
dan terus membasahi kelopak matanya. Ait matanya kian deras membaur dengan guyuran hujan. Putri bungsunya, Zubaidah yang hari itu datang bersama saudara tertuanya, Karmila terus merengek minta pulang untuk bertemu ayah tercinta.
Zubaidah, (1,5) menangis minta bertemu ayahnya. Putri ketiga Saudah ini tak henti-hentinya menanyakan ke mana sang ayah pergi. Bocah seusia Zubaidah tak tahu apa yang sedang menimpa orang tuanya. Ia meronta dalam gendongan ibunya seraya terus menuntut bertemu ayahnya. Sementara Karmila (6,5) yang baru saja didaftarkan di sebuah SD kawasan itu terpaku tanpa mampu membaca suasana. Karmila mungkin sangat terpukul, karena seminggu lalu ia baru saja dipapah ayahnya masuk sekolah.
Setiap berangkat dan pulang sekolah, Karmila senantiasa dijemput sang ayah. Sekarang entah siapa yang akan menemaninya. Sejak peristiwa itu, Karmila bukan saja tanpa teman, tapi juga kehilangan kesempatan bersekolah. Ia belum diizinkan ibunya sekolah sebelum hari kemalangan berlalu.
Zubaidah dan Karmila adalah dua dari tiga bersaudara pasangan Saudah-Samsuar. Kedua anak ini tidak saja kehilangan ayah, tapi juga ditinggal pergi kakek dan paman tercinta. Bersama Samsuar (27), Abdul Manaf (45), dan M. Ali (25), jadi korban pembantaian Tragedi Bantaqiyah. Sementara korban lain yang tewas M. Harun (18), Zubir (25), Usman bin Bantaqiyah (29), M. Din (45), Tarmizi (32), M. Husen (42), Samin (28), Jamaluddin
(29), Suhaimi (35), M Amin M (32), Jamalulhadi (27). Di
antara 32 korban, 17 orang warga Blang Beurandeh. Sisanya
masih penduduk pemukiman Beutong Ateuh.
Keluarga dekat Bantaqiyah bersama masyarakat menata kembali
kuburan massal itu. Peristiwa ini mengingatkan kembali kebrutalan TNI pada masa pemberlakuan DOM. Ketika itu masyarakat mendapatkan mayat-mayat ditindih begitu saja dalam beberapa liang yang sangat sempit. Bantaqiyah dikubur bersama anak dan 23 korban lainnya yang ditanam dalam sebuah liang persis di belakang rumahnya. Sisanya 7 mayat ditanam di kaki bukit sekitar 50 meter dari bangunan utama dayah Bantaqiyah.
Membutuhkan waktu sekitar 2 jam untuk menggali kuburan massal
pertama. Para penggali harus hati-hati, karena posisi mayat
tidak beraturan dan kedalamannya hanya 50 cm. Sosok mayat itu sebagian besar sudah mengelupas serta mengeluarkan bau tak sedap. Rencana mengangkat mayat-mayat itu diurungkan, karena kondisi sudah sangat mustahil dilaksanakan. Kedua kuburan massal yang berada di belakang deretan bangunan darurat dayah
Tgk Bantaqiyah hanya diberi siraman air ritual sekaligus
ditutup dengan kaian kafan sebagai simbol tajhiz (memandikan, mengafani, mensalatkan, dan menguburkan).
Semula, dokter Puskesmas Babussalam merencanakan melakukan otopsi dengan seizin keluarga korban. Namun rencana otopsi akhirnya dibatalkan atas permintaan keluarga pula. "Untuk apa lagi kita otopsi. Kami sudah rela, biarlah arwah mereka istirahat dengan tenang," pinta Jamaluddin, Kepala Desa Blang Beurandeh yang juga kehilangan seorang putranya. Selain itu masyarakat juga menemukan 20 sosok mayat berserakan di jurang-jurang sekitar kilometer 7 lintas arah Takengon,
Aceh Tengah. Namun masyarakat setempat hanya bisa menguburkan
10 dari 20 korban. Sisanya masih berada di jurang. Karena kondisinya sudah sangat membusuk, masyarakat tak mampu
melakukan penguburan. Kesepuluh mayat itu masih berserakan di lintas Takengon-Beutong Ateuh.
Sementara itu 4 warga Blang Beurandeh dan 1 warga Blang Puuk hingga saat ini belum ditemukan. Mereka adalah Tgk M. Din, 41, M Janata, 28, M. Ali B, (35) Abdul Wahid (26) dan Saidi (38).
Misteri antara kematian Tgk Bantaqiyah, ganja dan GAM belum terkuak juga. Tuduhan aparat keamanan terhadap suaminya
menanam ganja sama sekali tak beralasan. Menurut isteri keduanya Aman Farisah, 32, suaminya baru kembali ke Beutong 28 Mei 1999 lalu. Sedianya ayah 10 anak ini tak ingin lagi menyelenggarakan pengajian. Namun atas permintaan masyarakat setempat, Tgk Banta akhirnya bersedia juga mengajar kembali warga setempat. Setiap Jumat, penduduk setempat belajar Al
Quran dan kitab di sebuah balai utama hingga pecahnya
peristiwa berdarah itu.
Menurut Aman Farizah, kira-kira pukul 11.00 siang ratusan personil TNI datang secara tiba-tiba seraya berteriak meminta
peserta pengajian berkumpul. Di sela perintah itu, aparat melempari rumah penduduk dengan batu dan kayu sehingga membuat mereka berlarian keluar. Peserta pengajian pun turun menuruti perintah petugas. Aparat berteriak menanyakan Bantaqiyah hingga pimpinan dayah itu keluar dari rumahnya.
Antara aparat dan Bantaqiyah sempat terjadi dialog, namun tak ada yang tahu apa yang dibicarakan. Sementara pasukan lain
melepaskan tembakan membabi buta tanpa memberi aba-aba. Bantaqiyah berteriak menyuruh warga tiarap. Rentetan peluru
memecahkan keheningan desa. Korban bergelimpangan, darah muncrat dari tubuh korban. Satu-persatu mereka rubuh diterjang peluru tajam jahanam. Mereka tewas bersimbah darah di dalam pekarangan pesantren Bantaqiyah.
Beberapa saksi mata menuturkan, penembak Bantaqiyah bukan pasukan pembantai 51 warga lain. Ia hanya sempat dikurung pasukan dari Aceh Tengah itu, namun ada tembakan dari arah
lain yang berhasil menewaskan Bantaqiyah. "Saya sangat
terpukul dengan Tragedi Bantaqiyah," ujar Camat Beutong, Drs.
Teuku Bantasyam Puteh.
Masyarakat memungut sosok mayat yang sudah tak utuh lagi pada Senin dan Selasa berikutnya atau sehari setelah pembantaian ini terbongkar. Korban seluruhnya rakyat sipil tak berdosa. Tgk Bantaqiyah yang menjadi incaran mereka turut menjadi korban bersama jemaahnya lainnnya. Bantaqiyah tewas setelah
tembakan ketiga. Sebelumnya, Tgk Banta -begitu panggilan akrabnya- sempat dihantam dengan peluru jenis PSD 83 tetapi tak mempan. Akhirnya ia dihantam dengan senjata anti personil.
Deretan daftar kuburan massal di Aceh bertambah panjang. Setelah pembantaian pada masa DOM, Simpang KKA, kini lembah
Beutong Ateuh, 340 km barat Banda Aceh jadi cerita.
Pemukiman Itu
Pemukiman Beutong Atueh yang dihuni kurang lebih 800 kepala keluarga itu terletak persis di antara himpitan pegunungan Bukit Barisan. Daerahnya subur, cuma sayang sangat terisolir dan terbelakang. Pekerjaan mereka selain bertani, mencari kayu bakar di hutan. Pemukiman yang dibelah sungai penuh bebatuan
itu tercemar darah sudah. Tragedi pada hari Jumat (23/7) lalu telah meremukkan jiwa rakyat di sana. Puluhan perempuan kehilangan suami, tak kurang 25 orang yatim kehilangan ayah, dan puluhan ayah kehilangan anak. Pembantaian ini baru terungkap Minggu (26/7) setelah dilaporkan salah seorang warga Beutong yang lolos ke kota kecamatan.
Beutong memang kerap jadi berita. Setelah kasus Tgk Bantaqiyah dengan jubah putihnya akhir 1987, giliran kebun ganja heboh di sana. Nah, setelah Bantaqiyah dibebaskan, lagi-lagi Beutong
menggores kisah. Apakah karena Bantaqiyah? Tidak juga. Yang
pasti lembah itu telah tertumpahi darah putera-putera pemilik
sah bumi Aceh.
Menurut warga setempat, Tgk Banta bukan mafia ganja yang dituduhkan ABRI selama ini. Kalangan masyarakat menyebut
Bantaqiyah seorang guru mengaji di Blang Beurandeh, tempat ia mendirikan dayah (tempat kegiatan keagamaan). Di atas tanah seluas 3,000 meter, Tgk Banta mendirikan sebuah masjid sederhana. Di samping masjid ini dibangun sebuah balai besar tempat pengajian berlangsung.
Bantaqiyah bersifat terbuka. Ia menerima siapa pun yang ingin menuntut ilmu. Para tamu berdatangan dari hampir seluruh Aceh. Mereka hanya beberapa hari menuntut ilmu yang kemudian kembali
ke tempat asal masing-masing.
Bantaqiyah menyelenggarakan tradisi puasa 7, 14, 40 dan 44 hari sebagai persyaratan menuntut ilmunya. Berbagai lapisan masyarakat datang menimba ilmu dari Bantaqiyah. Bahkan menurut
kalangan dekat Bantaqiyah, salah seorang perwira Kopassus pernah berlajar ilmu dari Bantaqiyah. Namun tidak selesai karena keburu dipulangkan ke markasnya.
Kasus Jubah Putih sempat menghebohkan Aceh pada tahun 1987
lalu. Saat itu Bantaqiyah nyaris ditangkap karena dianggap
menyebarkan aliran sesat. Namun kegiatan pengajian berlangsung terus. Hanya saja jubah putih tak lagi memasuki kota. Pada akhir 1993, Bantaqiyah ditangkap dengan dalih memiliki kebun ganja dan memperalat muridnya menanam ganja. Bantaqiyah
dituduh memasok ganja untuk membantu perjuangan GPK Aceh. Bantaqiyah dijebloskan ke penjara hingga akhirnya divonis 20
tahun lewat UU Anti Subversi.
Kompleks dayah Bantaqiyah diapit perbukitan dan aliran sungai jernih. Ia mendiami kompleks itu bersama dua isteri dan satu menantunya. Istri pertama Nursiah, dikawini sejak 30 tahun lalu. Dari isterinya ini Bantaqiyah dikarunia 8 anak. Isteri keduanya Aman Farisah, berasal dari Bireun, Aceh Utara. Dari isteri kedua, Bantaqiyah dianugerahi dua putra yang masih
bocah.
Perkampungan Beutong Ateuh berada di lembah layaknya setting film The Killing Field yang tenar tenar itu. Daerah ini sulit dijangkau masyarakat asing. Selain tanpa transportasi reguler,
untuk mencapai Beutong Atueh harus menempuh perjalanan panjang
selama 5-7 jam dari Meulaboh, ibukota Aceh Barat. Itu pun jika menggunakan kenderaan jenis jeep seperti Toyota Land Cruiser,
misalnya.
Jalan menuju ke Beutong Ateuh baru saja dibuka pemerintah
sekitar 10 tahun lalu. Medan lumpur, tanjakan tajam serta ancaman jurang serta bebatuan cadas acap membahayakan
perjalanan. Masyarakat Beutong Ateuh jika ingin turun gunung harus menunggu jadwal angkutan spesial dua hari sekali dengan ongkos Rp 25.000 per orang untuk jarak tempuh 90 km.
Suhu dingin dan balutan kabut kadang kala membuat pengguna jalan berpikir seribu kali kalau ingin ke Beutong. Belum lagi ancaman binatang buas yang kerap mengintai manusia. Tapi, anehnya bagi sebagian masyarakat Beutong, dalam suasana alam yang menyeramkan itu, mereka berani jalan kaki hingga tiga kali 24 jam untuk mencapai kota kecamatan.
Lintas jalan Beutong Ateuh-Meulaboh relatif lembab. Curah hujannya sangat tinggi. Sewaktu-waktu bisa turun hujan yang mengakibatkan terhambatnya perjalanan. Wartawan Nanggroe
bersama rombongan LSM dan pers dari Banda Aceh harus mandi
lumpur untuk menjinakkan medan dataran tinggi Bumi Teuku Umar
itu.
Puncak gunung Singgahmata dengan ketinggian 4,000 kaki dari permukaan laut terkenal dengan medannya yang berat. Singgahmata selalu dibungkus kabut dingin, jalan-jalan penuh batu cadas serta jurang terjal. Di sisi lain perbukitan yang rawan longsor akibat perambahan hutan besar-besaran pada
waktu-waktu sebelumnya.
Pada posisi 70 km dari Meulaboh itu, kami terpaksa istirahat sambil menyantap makanan siang yang molor hingga pukul 16.00 WIB. Dengan kondisi gemetaran menahan dingin, satu persatu bulir nasi disantap guna menaikkan suhu badan. Kopi panas atau teh hangat sama sekali tak bisa dinikmati karena dikalahkan oleh suhu yang bisa anjlok hingga 10 derajat celsius. Beberapa
kali mobil yang kami tumpangi kandas, dan nyaris tak mampu melanjutkan perjalanan. Kehandalan mobil tak bisa diharapkan
jika tak ada mobil lain yang bisa membantu. Tikungan tajam ditemui hampir di sepanjang jalan. Setiap 500 meter terdapat tikungan patah. Sepanjang perjanan, beberapa warga Beutong
Ateuh yang terlanjur mengungsi ke kota kecamatan ketakutan dan
lari ke hutan ketika mendengar deru mesin mobil.
Setelah menempuh perjalanan panjang, rombongan tiba di Blang Beurandeh menjelang maghrib. Disambut isak tangis dan ratapan, rombongan dipandu menuju desa-desa sekitar. Seluruh
penduduk berebutan memberi kesaksian kepada tamu semalam itu. "Kamoe hantem lee tinggai di sino, eunteuh jitimbak lom," (Kami tak mau lagi tinggal di sini, nanti ditembak lagi) begitu lapor mereka sambil meraung.
Selesai meninjau, rencana pembongkaran kuburan diurungkan
hingga esok hari, Kamis (29/7). Rombongan disambut hangat dengan secangkir kopi gunung beserta makan malam secara meriah. Wajah-wajah sedih sedikit berubah mengguratkan harapan ketika mereka tahu telah dikunjungi rombongan wartawan. Kami sempat was-was bila para pembantai datang lagi dan aksinya tak akan diketahui hingga tiga hari.
Kawasan Beutong hari itu telah dihuni aparat baru dari Gegana Polri, Kelapa Dua Jakarta. Mereka mengawasi dengan curiga setiap gerak-gerik masyarakat yang bisa-bisa ada kelompok GAMnya. Jumlah mereka tidak kurang dari satu kompi. Mereka
didrop dari Jakarta melalui Aceh Tengah.
"Sebenarnya kami ingin cepat-cepat pulang, buat apa lama-lama, kan kita rindu juga dengan keluarga," ujar salah seorang prajurit.
Daerah ini kaya sumber daya alam. Masyarakat, di samping
berkebun, ada juga yang bertani meskipun tidak semeriah daerah
pesisir. Masyarakat Beutong Ateuh umumnya buta huruf. Di antara ratusan KK hanya satu SD yang bercokol di kawasan ini. Itu pun proses belajar mengajarnya berlangsung seadanya. Namun
kondisi ini tidak menyurutkan minat masyarakat setempat menyekolahkan anaknya atau menuntut ilmu agama.
Selama ini satu-satunya pesantren yang ada hanya dayah Bantaqiyah. Dayah ini dibangun dengan dana sekitar Rp 105 juta dari anggaran Rp 400 juta sejak 1987 lalu. Dua tahun kemudian
Bantaqiyah turun ke kota menuntut status Aceh sebagai daerah istimewa segera direalisasikan. Pasukan Jubah Putih -
begitulah rombongannya dikenal - mengarak bendera merah berlambang bintang bulan ke ibukota Aceh Barat.
Pesantren Bantaqiyah terletak di desa Blang Beurandeh. Desa ini satu-satunya desa yang berada di seberang sungai. Penduduk
Blang Beurandeh lebih sedikit dibanding desa tetangganya.
Namun, Blang Beurandeh telah melahirkan seorang politisi sekaligus pengacara handal Abdullah Saleh, SH yang sekarang
menjabat Wakil Ketua DPW PPP Aceh.
Bangunan rumah penduduk terlihat sangat bersahaja. Umumnya berkonstruksi kayu tanpa sentuhan ketam. Luas rumahnya pun
hanya mampu menampung dua hingga tiga kamar berukuran 3x3 meter. Sumber air terjun yang ada di kawasan Beutong Ateuh bisa dimanfaatkan untuk pembangkit litsrik tenaga air (PLTA).
Peralatan itu sebenarnya sudah didatangkan, namun hingga saat
ini masyarakat hanya memiliki lampu petromaks. Itu pun dinyalakan hingga pukul 21.00 WIB. Jangan heran bila kawasan ini masih gelap gulita.
Lembah Beutong sebenarnya strategis bagi daerah latihan
militer. Sumber air yang memadai dan jalur distribusi logistik bisa didrop dari udara. Sekitar pemukiman terdapat dataran
tinggi yang subur, mampu menghidupkan mahluk apa saja. Tanaman
ganja pun bisa hidup sendiri tanpa perlu disemai. "Ganja tumbuh sendiri di hutan, masa dituduh masyarakat yang tanam, seperti yang dituduhkan kepada Tgk Bantaqiyah," bela T. Cut
Ali, tokoh masyarakat setempat.
Danrem 012/TU Kolonel Syarifuddin Tippe belum bisa memberi
keterangan lebih lanjut. Kepada Nanggroe, Tippe menyatakan
laporan yang ditulis di media massa berdasarkan laporan Kasie Intel Korem 011/LW Letkol. Inf. Sujono. Pihaknya sudah mengirimkan tim melakukan recheck bersama Danramil Beutong. "Tapi saya belum terima laporannya," ujar Tippe. ***
You Might Also Like :
0 comments:
Post a Comment