Tipsone(Free Tips and Trick)

Paypal For Business

Free Premium Themes

Friday, November 21, 2008

Perlawanan Cik Patekulu Dalam Sastra Aceh Abad Ix


9:07 PM |

ACEH di masa lalu punya suatu bentuk kesusastraan yang tinggi di wilayah Nusantara. Namun, karena adanya kemunduran intelektual di wilayah ini setelah pelarangan buku-buku dan ajaran Ar-Raniri dan Hamzah Fanshuri (abad ke-11 sampai abad ke-14), Aceh jatuh ke dalam kemunduran intelektual yang parah.

Namun, dalam kurun waktu kira-kira empat abad, ajaran-ajaran Fanshuri dan Ar-Raniri dapat diwariskan rakyat Aceh dalam wacana sastra lisan (Oral History). Oral history itu terformat dalam banyak bentuk pola karya sastra berupa haba (baca: khabar) dan hikayat. Hikayat merupakan satu bentuk oral history yang paling populer di Aceh dan paling membangkitkan semangat perjuangan melawan kolonial di Aceh.




Lewat hikayat ini pulalah rakyat Aceh menerima warisan "Martabat Tujuh" dari ajaran Hamzah Fanshuri dan Ar-Raniri. Ini salah satu dasar yang mengilhami perjuangan Aceh sampai munculnya hikayat paling terkenal Hikayat Perang Sabil. Yang dikarang Haji Muhammad Pantekulu. Ia lebih dikenal dengan panggilan Cik Pantekulu.

Sebelum memulai tulisan ini lebih lanjut, ada baiknya penulis ingin mengutarakan landasan Kebudayaan Islam yang menopang kehidupan dan gerak maju umat ini di setiap wilayah (negeri) kaum Muslimin. Penulis sangat tertarik dengan sebuah judul tulisan Roger Garaudi berjudul "Segala Seni Membawa Kepada Mesjid dan Segala Mesjid Membawa Kepada Shalat" dalam bukunya Promeses de l'lslam ('Janji-janji Islam'). 40 tahun lalu, Sidi Gazalba juga pernah menulis judul semacam ini, namun dalam tinjauan yang berbeda. Dari tulisan Garaudi tersebut, dalam gambaran kebudayaan Islam, masjid demikian mulia artinya. Dapatlah dimengerti, mengapa umat Islam Aceh demikian sangat marah tatkala orang-orang Belanda membakar Masjid Raya Banda Aceh pada tahun pertama 1873 aneksasi Beollanda terhadap Aceh. Setiap orang Aceh yang sadar arti masjid mengamuk dan menghantam menyerang Belanda dengan sengitnya di ibu kota Banda Aceh Darus-Salam yang setelah ditaklukkan Belanda menjadi Kutaraja.

Dalam Islam, kebudayaan (termasuk kesenian) bukanlah tujuan dalam praktik hidup mereka. Kebudayaan selalu diletakkan di bawah agama. Ini akan menjadi jelas bila kita ambil pola pembagian kebudayaan oleh antropolog Barat begitu juga sebagian antropolog Timur seperti Kuntjaraningrat dan Gazalba. Dalam pebagian sub-sub kebudayaan itu, agama dijadikan tujuan hidup. Bagi kalangan Muslim, agama sebagai praktik hidup boleh ditaruh di antara sub-sub kebudayaan, sedangkan sub-sub kebudayaan harus dilandasi agama sebagai tujuan terakhir. Dengan bahasa lain, secara makro agama menguasai sub-sub kebudayaan.

Dalam mahkota kebudayaan Islam, selalu tercantum Alquran pada tingkat tertinggi, Hadis pada tingkat kedua dan Qiyas pada tingkat ketiga. Di bawah tiga mahkota inilah sub-sub kebudayaan diletakkan, antara lain: Kehidupan sosial, ekonomi, politik, iptek, filsafat, seni, dan agama. Ketujuah sub kebudayaan ini mengacu kepada 4 (empat) nilai, antara lain, nilai historis, nilai estetik, nilai etik, dan nilai makna atau tujuan akhir. Inilah jawaban dari sebuah pertanyaan dari artikel seminar Historiografi Karl A. Stenbrink, di IAIN Sunan Kalijaga tahun 1985 yang termaktub "Bagaimana Menentukan Unsur Agama Dalam Kehidupan Sosial Politik?" (Lihat Muin Umar, Dua Dimensi, Yogyakarta, Mei 1985).

Rasa cinta agama

Mr. S.M. Amin dalam karanganya "Sejenak Meninjau Aceh, Serambi Mekah", memaparkan bahwa rasa cinta agama dan kemerdekaanlah yang menjiwai masyarakat Aceh melawan kafir (kaphee) Belanda dalam perangnya melawan kolonialisme Belanda. (Bunga Rampai Tentang Aceh hal; 46, Bhratara Jakarta, 1980)

Tidaklah asing jika seorang kopral marsose, seorang veteran Perang Aceh, H.C. Zentgraaff, yang kemudian menjadi direktur utama surat kabar berbahasa Belanda terbesar di Hindia Belanda Java Bode melaporkan tulisan-tulisannya yang sangat fair pandangan matanya tentang perlawanan dan kepahlawanan rakyat Aceh. Suatu penilaian yang sama sekali berbeda dengan kebanyakan penulis Belanda yang menaruh atau melemparkan seluruh sifat jelek dan kebinatangan kepada rakyat Aceh. Zentgraaff memiliki kekaguman yang luar biasa kepada rakyat Aceh yang sungguh heroik. Ia menulis bukan berdasar suatu tinjauan selintas (seketika) sebagaimana kebanyakan wartawan memotret satu kejadian dengan sekali jepret tanpa pendalaman lebih jauh ke dalam peristiwa. Zentgraaff meninjau segala-galanya (hampir dari semua sisi) suatu kejadian yang ditemuinya di medan perang Aceh yang besar dan banyak menghabiskan kas negara Belanda itu. Catatan-catatan Zentgraaff disatukan menjadi buku dengan judul De Atjeh yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berjudul Perang Aceh.

Aceh di abad ke-19, tepatnya sejak awal aneksasi Belanda terhadap wilayah ini 24 Januari 1873, menjadi daerah yang paling banyak dibicarakan dalam peta politik internasional saat itu. Kengerian Belanda terhadap Aceh sama dengan kengerian Amerika terhadap Vietnam tahun 1960-1975 yang menyebabkan Amerika menyerah sebelum pertempuran resmi berakhir. Sebagaimana Aceh, Vietnam juga sangat menguras kas negara Paman Sam pada tahun 1960-an itu.

Catatan bagi banyak penulis Orientalis, ibadah ritual Haji sangat mengilhami banyak perlawanan umat Islam di negeri-negeri terjejah sejak terbukanya jalan ke Timur yang dimulai oleh perjalanan sukses Vasco da Gama dan Colombus melewati Tanjung Harapan di Afrika Selatan. Hal ini juga tak terelakkan bagi Cik Pantekulu, (Haji Muhammad Pantekulu) yang berkenalan dengan Gerakan Wahabi di Tanah Suci di abad ke-18 atau awal abad ke-19. Selain itu, ia juga berkenalan dengan tokoh kebangkitan Islam Jamaludin al-Afghani, Sayid Qutb, Sayid Rasyid Ridha, dan lain sebagainya.

Cik Pantekulu adalah seorang ulama, yang pada waktu berada di Makkah banyak membaca epos perang di zaman Rasul, antara lain Hikayat Perjuangan Hasan bin Tsabit, Hikayat Pejuang Khalid Bin Walid Perjuangan Kaab bin Zubair, Kepemimpinan Umar bin Khaththab, yang kesemua cerita tersebut tertuang dalam syair-syair berbahasa Arab yang bercita rasa sastra tinggi dan kehalusan bahasa yang sulit ditandingi saat itu.

Dianeksasi Belanda

Pada waktu itu Cik Pantekulu sudah tahu bahwa bulan Januari 1873 Aceh dianeksasi penjajah Belanda dan membakar Masjid Raya Banda Aceh Darussalam. Nama kota Banda Aceh diganti kolonial dengan nama Kutaraja. Ulama Aceh yang cukup besar pengaruhnya di Aceh, Syekh Abdus Saman (lebih dikenal Syekh Saman) mengumpulkan para ulama lainnya untuk membangkitkan semangat juang rakyat Aceh melawan Kaphee Belanda. Syekh Saman menciptakan satu tari perang yang disebut "tari Saman" yang diselingi pembacaan selawat (puji-pujian kepada Nabi) dan disampirkan pula dengan syair berbahasa Aceh agar dapat dimengerti oleh pejuang-pejuang Aceh pesan yang disampaikan Syekh Saman kepada pemuda dan pemudi Aceh. Syair-syair yang diselipi di antara selawat nabi dalam tari Seudati yang menggelora itu, mengajak pejuang-pejuang Aceh berjuang tanpa henti melawan penjajah, memerangi musuh-musuh Allah yang tak pernah henti-henti mencoba menghancurkan agamanya di mana-mana. Satu dari syair yang diselipi di antara selawat dalam tari seudati itu berbunyi:

"Jak tamurang hai boh atee
mujak matee beuta ridla
hudon adoe gulam beuda
jak prang kaphee cang belanda

artinya:

Pergi berperang wahai jantung hatiku
relakan walau pun mati akhirnya
bangunlah dik, sandang senapan
pergi perangi kafir belanda laknat ilahi

Cik Pantekulu yang sudah lama bermukim di Tanah Suci melaksanakan ibadah haji dan menuntut ilmu, 28 tahun setelah belanda menganeksasi Aceh, memutuskan untuk pulang ke tanah airnya dengan menumpang kapal laut. Dalam perjalanannya antara Mekah-Banda Aceh, ia menulis banyak syair-syair pembangkit semangat perang melawan penjajah kaphe Belanda yang akhirnya dikenal dengan kumpulan syair Hikayat Perang Sabil atau (Hikayat Perang Sabee) di tahun 1881. Kita tak perlu heran dengan kemapuan Cik Pantekulu mencipta puisi-puisi "Hikayat Perang

Sabee" atau kemapuan Syekh Saman menciptakan tari Seudati yang menggelorakan setiap darah pemuda Aceh mengingatkan kezaliman penjajah Belanda di masa lalu.

Aceh jauh sebelum kedatangan Belanda di Tanah Rencong merupakan gudang para ulama sekaligus gudang pemikir keagamaan, tokoh sufi yang punya kemampuan menulis, baik masalah agama, tasawuf, maupun sastra. Hamzah Fanshuri dikenal sebagai bapak "Pantun Melayu" yang pertama menciptakan pantun yang diakui di Indonesia, Malaysia, Brunei, dan Singapura. Kemudian Aceh dalam masa Pergolakan menentang kolonial Belanda, menemukan dimensi baru penciptaan syair-syair perlawanan penuh semangat menentang kezaliman kaphee Belanda.

Inilah bentuk perkembangan syair (kesusastraan) Aceh 4 (empat) abad setelah ditinggalkan bapak Kesusasteraan Melayu Hamzah Fanshuri yang banyak bermuatan tasawuf, filsafat, agama, kini berubah menjadi syair penuh gelora yang menyalakan semangat perang karena musuh bukan lagi dalam bentuk wacana, tapi secara fisik sudah di depan mata dan mendahului mereka menyerang umat Islam. Berarti, setelah terputusnya persajakan Aceh selama kurang lebih 4 (empat) abad kemudian barulah diteruskan warisan kepenyairan Aceh yang besar itu oleh Cik Pantekulu yang melahirkan kumpulan puisi Hikayat Perang Sabil. Dalam antologi ini, gambaran surga menjadi jelas dan nyata di mata rakyat Aceh, rasa berada di sisi Tuhan apabila syahid di medan juang, kegembiraan menemui maut di medan jihad adalah harapan yang terus bergaung dan dipompakan kepada rakyat.

Dalam syair tersebut terungkap bahwa kemenangan Aceh pasti ada di tangan Allah SWT. Hal ini membuat seluruh rakyat Aceh tak kenal lelah untuk berjuang. Inilah satu karya Ci Pantekulu yang diciptakannya dalam perjalanan pulang dari Makkah ke tanah air yang dicintainya yang sedang dirundung malang dijajah oleh Kaphee Belanda:

Dalam seuruga na saboh ayoen
me alon-alon, mengisa-gisa
soe teumeeneng ek lam ayoen nyan
seulamat iman atee lam dada"

artinya:

Dalam surga ada sebuah ayunan
beralun-alun berputar-putar
siapa yang naik dalam ayunan
selamat iman dalam dada

Syair-syair itu dibacakan malam-malam oleh para ulama kepada pemuda-pemudi, sebelum besok pagi bersiap-siap menyerang Belanda di markas-markas pertahanan mereka di kota seperti Kutaraja, Pidie, Singkel, dsb. Sering syair tersebut dilagukan sambil maragakan tari "Seudati" yang kian menambah semangat mereka untuk bertempur menjemput kemenangan. Para pemuda yang dipimpin para ulama sangat yakin bahwa surga ada di sisi Allah sebagai imbalan jerih payah mereka mengadakan perlawanan sengit (baca: berjihad) melawan kezaliman Belanda.

Bila banyak penulis Belanda dalam banyak bukunya (terkecuali H. C. Zentgraaff) menggambarkan orang Aceh itu sejenis binatang buas, tak beradab, tak memiliki sopan santun, para ulama Aceh juga menyebarkan persepsi yang juga sama terhadap penjajah yang dianggap sebagai anjing, sekelompok manusia kelas rendah, atau hewan buruan yang layak ditombak dan disantap dagingnya ramai-ramai. Suatu paradoks dalam perjuangan antara dua pihak, penjajah dan bangsa yang berjuang tak mau dijajah. Untuk ucapan para ulama terhadap kaphee Belanda yang dianggap anjing, dikukuhkan oleh ungkapan seorang ulama muda, Teungku Abdul Jalil (32 tahun), yang berasal dari Aceh Utara di tahun 1942 di mana Jepang baru saja masuk ke Aceh yang lebih hina lagi martabatnya dibanding Belanda: Tale Ase, jitamong bui/ (Kita usir anjing, yang masuk babi) Lihat Nourouzzaman As-Shidqi, dalam Muin Umar, Dua Dimensi, Yogyakarta, 1985. Anjing adalah simbol bagi penjajah Belanda, sedangkan kedatangan Jepang yang masuk ke Aceh disimbolkan sebagai babi. Berikut lanjutan Hikayat Perang Sabil dari Cik Pante Kulu:

Jak kutatak ayak kudangdi
ie mon hayati ie krueng kaukousa
nyang teumeng jieb ie man hayati
nyang prang sabi asoe seuruga
tulong Allah majizat Nabi
nyang cang kaphe asoe seuruga

yang artinya

mari kutatak ayak kudang di
air perigi hayati serupa sungai kausar
yang dapat minum air perigi untuk hidup
hanya yang berperang sabil
tolong ya Allah mukjizat Nabi
yang bukan kafir, pasti isi surga

Tak terbayang, bagaimana hebatnya daya juang rakyat Vietnam saat melawan Yankewe (Amerika) di tahun 1960-1975-an. Begitu juga kita membayangkan kenberanian pemuda-pemudi Palestina yang mengantongi bom dalam ranselnya, lalu meledakkan diri di tengah komunitas Yahudi Israel yang sudah setengah abad menjajah bangsa Palestina. Agaknya gambaran seperti itu tak melebihi apa yang diperankan pemuda-pemudi Aceh melawan Belanda dari 1873 sampai masuknya Jepang ke tanah Aceh 1942. Dalam hal ini, Cik Pantekulu mengingatkan pemuda-pemudi Aceh bahwa jangan lagi ingat kenikmatan dunia, demi surga di sisi-Nya,

Bungong kayee le putik han jimat
alamat kilat ujeuen keuneung sa
nuntulong lon he malaikat
tak le teu ingat ke nekmat donya

Share
You Might Also Like :


0 comments: