Tipsone(Free Tips and Trick)

Paypal For Business

Free Premium Themes

Friday, November 21, 2008

Tentara Bentukan Kolonial Belanda DiIndonesia


9:04 PM |

Untuk mendukung kekuasaannya di Indonesia, selain mendatangkan balatentaranya sendiri, Belanda juga membentuk berbagai pasukan di Indonesia yang prajuritnya berasal dari penduduk setempat atau pribumi, tujuannya adalah untuk lebih mengenali karakter rakyat Indonesia selain tentu untuk mengadudomba, agar persatuan dan kesatuan rakyat Indonesia terpecah belah.

Berbagai Pasukan tersebut diantaranya adalah :



Mardijkers, Sejak zaman VOC, keturunan dari mereka yang telah bebas dari perbudakan, atau yang dapat membeli kemerdekaannya, dan kemudian bersedia menjadi serdadu “Kumpeni”, dinamakan Mardijkers. Mereka kebanyakan keturunan serdadu-serdadu pribumi yang ditawan oleh Spanyol dan Portugis, ketika Belanda perang melawan kedua negara tersebut. Setelah dibebaskan, mereka bertugas kembali di ketentaraan VOC, dan secara tradisional, keturunan merekapun menjadi serdadu “kumpeni.” Kemudian masuk juga mantan budak-budak yang berasal dari India dan Afrika, yang becampur dengan budak-budak yang berasal dari Sulawesi, Bali dan Melayu. Hampir seluruhnya menganut agama kristen. Mereka berpakaian seperti orang Portugis dan menggunakan bahasa Portugis-Kreol. Sampai abad 18 orang-orang Mardijkers tinggal di kampung-kampung di Batavia.Tahun 1777 masih terdapat 6 kompi Mardijkers (sekitar 1.200 orang) di dinas ketentaraan VOC yang bertugas menjaga perumahan Belanda di dalam kota. Tahun 1803 masih trsisa satu kompi, dan kompi terakhir dibubarkan tahun 1808.Ketika masih berlangsung perbudakan di India-Belanda di mana diberlakukan passenstelsel (semacam kartu tanda penduduk-KTP), di tempat-tempat di mana diminta untuk menunjukkan KTP, mereka biasanya mengangkat satu tangan ke atas sambil mengatakan “mardijkers”, yang lama kelamaan diartikan sebagai “merdeka”!

Marechaussée, Marechaussée sendiri sebenarnya merupakan unit pasukan kepolisian, yang berakar pada masa penjajahan Prancis di Belanda. Berdasarkan dekrit Republik Bataaf yang didirikan oleh Prancis, pada 4 Februari 1803 dibentuk unit kepolisian yang dinamakan Marechaussée, namun tidak langsung dilaksanakan. Pada 1805 dibentuk satu unit Gendarmerie (semacam Brigade Mobil - Brimob), dan baru pada 26 Oktober 1814, setelah Republik Bataaf diganti dengan Kerajaan Belanda (wangsa Oranye), berdasarkan dekrit no. 498 yang dikeluarkan oleh Raja Belanda, Willem I, secara definitif dibentuk Koninklijke Marechaussée.Kata Marechaussée sendiri mempunyai akar yang sangat panjang, yaitu sejak masa pengadilan kuno di Paris tahun 1370 yang dinamakan “Tribunal of Constables and Marshals of France”. Constable dan Marshall ini kemudian menjadi anggota Gendarmerie, yang merupakan kekuatan kepolisian untuk Belanda dan Belgia.Marechaussée yang dikenal di Indonesia sebagai Marsose berkembang menjadi kekuatan tempur untuk mengamankan wilayah dan jalanan di Kerajaan Belanda. Selain tugas-tugas kepolisian, Marechaussée juga ditugaskan untuk membantu angkatan perang, terutama di waktu Perang Dunia I, tahun 1914 - 1918. Di masa ini juga Marechaussée ditigaskan di India-Belanda, antara lain dalam perang Aceh dan perang melawan Si Singamangaraja XII di Sumatera Utara, di mana kemudian pada tahun 1917, satuan Marechaussée berhasil mengalahkan dan menewaskan Si Singamangaraja XII.

Tentara Bayaran, Belanda yang kecil dengan penduduknya yang juga relatif sedikit, tentu tidak dapat membangun tentara yang besar, yang hanya terdiri dari orang Belanda dan pribumi saja. Mereka juga memerlukan perwira yang handal untuk memimpin pertempuran, yang tidak dapat diharapkan dari pribumi pada waktu itu. Untuk membangun tentara yang tangguh di India-Belanda, di samping merekrut pribumi untuk menjadi serdadu –dan paling tinggi bintara- mereka juga menyewa perwira dan serdadu dari negara-negara Eropa lain, terutama dari Jerman. Belanda bahkan tidak tanggung-tanggung, yaitu mengontrak satu resimen dari Jerman. Tahun 1790-1808 terdapat Regiment Württemberg yang terdiri dari orang-orang Jerman asal Württemberg yang berjumlah 2000 (!) tentara. Semula mereka mengabdi pada VOC, kemudian setelah VOC dibubarkan, mereka berada di bawah Pemerintah India-Belanda. Regiment Württemberg ini dibubarkan pada tahun 1808. Banyak dari mantan serdadu dan perwira Jerman yang kemudian tinggal dan berkeluarga di Indonesia. Hal ini yang menerangkan bahwa di Indonesia sejak beberapa generasi ada keluarga Indonesia yang mempunyai nama keluarga Jerman.

4. KNIL (Koninklijk Nederlands-Indisch Leger)


Dan yang paling terkenal adalah KNIL, ketika berlangsung Perang Diponegoro (1825 – 1830), tahun 1826/1827 pemerintah India Belanda membentuk satu pasukan khusus. Setelah Perang Diponegoro usai, pada 4 Desember 1830 Gubernur Jenderal van den Bosch mengeluarkan keputusan yang dinamakan "Algemeene Orders voor het Nederlandsch-Oost-Indische leger" di mana ditetapkan pembentukan suatu organisasi ketentaraan yang baru untuk India-Belanda, yaitu Oost-Indische Leger (Tentara India Timur) dan pada tahun 1836, atas saran dari Willem I, tentara ini mendapat predikat “Koninklijk.” Namun dalam penggunaan sehari-hari, kata ini tidak pernah digunakan selama sekitar satu abad, dan baru tahun 1933, ketika Hendrik Colijn –yang juga pernah bertugas sebagai perwira di Oost-Indische Leger- menjadi Perdana Menteri, secara resmi tentara di India-Belanda dinamakan Koninklijk Nederlands-Indisch Leger, disingkat KNIL.

Undang-Undang Belanda tidak mengizinkan para wajib militer untuk ditempatkan di wilayah jajahan, sehingga tentara di India Belanda hanya terdiri dari prajurit bayaran atau sewaan. Kebanyakan mereka berasal dari Prancis, Jerman, Belgia dan Swiss. Tidak sedikit dari mereka yang adalah desertir dari pasukan-pasukannya untuk menghindari hukuman. Namun juga tentara Belanda yang melanggar peraturan di Belanda diberikan pilihan, menjalani hukuman penjara atau bertugas di India Belanda. Mereka mendapat gaji bulanan yang besar. Tahun 1870 misalnya, seorang serdadu menerima f 300,-, atau setara dengan penghasilan seorang buruh selama satu tahun.

Dari catatan tahun 1830, terlihat perbandingan jumlah perwira, bintara serta prajurit antara bangsa Eropa dan pribumi dalam dinas ketentaraan Belanda. Di tingkat perwira, jumlah pribumi hanya sekitar 5% dari seluruh perwira; sedangkan di tingkat bintara dan prajurit, jumlah orang pribumi lebih banyak daripada jumlah bintara dan prajurit orang Eropa, yaitu sekitar 60%. Kekuatan tentara Belanda tahun 1830, setelah selesai Perang Diponegoro adalah:

603 perwira bangsa Eropa
37 perwira pribumi
5. 699 bintara dan prajurit bangsa Eropa
7.206 bintara dan prajurit pribumi.

Tahun 1936, jumlah pribumi yang menjadi serdadu KNIL mencapai 33 ribu orang, atau sekitar 71% dari keseluruhan tentara KNIL, di antaranya terdapat sekitar 4.000 orang Ambon, 5.000 orang Manado dan 13.000 orang Jawa.

Apabila meneliti jumlah perwira, bintara serta prajurit yang murni orang Belanda terlihat, bahwa sebenarnya jumlah mereka sangat kecil. Juga stigmatisasi bahwa orang Ambon adalah tumpuan Belanda dalam dinas ketentaraan adalah tidak benar, karena ternyata jumlah orang Ambon yang menjadi serdadu Belanda jauh lebih kecil dibandingkan dengan jumlah orang Jawa. Juga pribumi yang mencapai pangkat tertinggi di KNIL bukanlah orang Ambon, melainkan Kolonel KNIL R. Abdulkadir Wijoyoatmojo, yang tahun 1947 memimpin delegasi Belanda dalam perundingan di atas kapal perang AS Renville, yang membuahkan Persetujuan Renville.

5. Belanda Hitam (zwarte Nederlander)

Tahun 1950, setelah penyerahan kedaulatan dari Belanda kepada Republik Indonesia Serikat, jumlah orang Indonesia yang masih menjadi serdadu KNIL diperkirakan sekitar 60.000 (!) orang, dan sebagian besar dari mereka diterima ke dalam tubuh Tentara nasional Indonesia (TNI). Jumlah orang Ambon diperkirakan sekitar 5.000 orang, yang sebagian besar ikut dibawa ke Belanda dan tinggal di sana sampai sekarang.

Dengan merekrut tentara yang berasal dari pribumi serta politik divide et impera-nya, menjadi tulangpunggung yang memungkinkan Belanda menang dalam banyak pertempuran melawan kerajaan-kerajaan di India-Belanda, dan di beberapa daerah –seperti di Jakarta- mereka dapat berkuasa selama sekitar 300 tahun.

Hal tersebut terjadi karena juga ditunjang oleh keserakahan dan egoisme para raja dan sultan serta pribumi lain yang bersedia bekerjasama dengan penjajah.


Share
You Might Also Like :


0 comments: