Tipsone(Free Tips and Trick)

Paypal For Business

Free Premium Themes

Friday, November 21, 2008

Sejarah Leuser

Posted On 10:00 PM by History Of Aceh 0 comments

Pada tahun 1920-an Pemerintah Kolonial Belanda memberikan ijin kepada seorang ahli geologi Belanda bernama F.C. Van Heurn untuk meneliti dan mengeksplorasi sumber minyak dan mineral yang diperkirakan banyak terdapat di Aceh. Setelah melakukan penelitian tersebut, Van Heurn menyatakan bahwa kawasan yang diteliti tidak ditemukan kandungan mineral yang besar dan menyatakan bahwa pemuka-pemuka adat setempat menginginkan agar mereka peduli terhadap barisan-barisan pegunungan berhutan lebat yang ada di Gunung Leuser.



Sebagai gantinya, Van Heurn mendiskusikan hasil pertemuannya dan menawarkan kepada para wakil pemuka adat (para Datoek dan Oeloebalang) untuk mendesak Pemerintah Kolonial Belanda untuk memberikan status kawasan konservasi (Wildlife Sanctuary). Setelah berdiskusi dengan Komisi Belanda untuk Perlindungan Alam, pada bulan Agustus 1928 sebuah proposal disampaikan kepada Pemeintah Kolonial Belanda yang mengusulkan Suaka Alam di Aceh Barat seluas 928.000 ha dan memberikan status perlindungan terhadap kawasan yang terbentang dari Singkil (pada hulu Sungai Simpang Kiri) di bagian selatan, sepanjang Bukit Barisan, ke arah lembah Sungai Tripa dan Rawa Pantai Meulaboh, di bagian utara.

Proposal tersebut akhirnya direalisasikan dengan pada tanggal 6 Februari 1934 dengan diadakannya pertemuan di Tapaktuan, yang dihadiri perwakilan pemuka adat dan Pemerintah Kolonial Belanda. Pertemuan tersebut menghasilkan "Deklarasi Tapaktuan", yang ditandatangani oleh perwakilan pemuka adat dan Perwakilan Gubernur Hindia Belanda di Aceh pada saat itu (Gouverneur van Atjeh en Onderhoorigheden, Vaardezen). Deklarasi tersebut mulai berlaku mulai tanggal 1 Januari 1934 ((Deze regeling treedt in werking met ingang 1 Januari 1934). Deklarasi tersebut mencerminkan tekad masyarakat Aceh untuk melestarian kawasan Leuser untuk selamanya sekaligus juga diatur tentang sanksi pidananya (baik padana penjara maupun pidanya denda). Dalam salah satu paragraph Deklarasi Tapaktuan disebutkan sebagai berikut : "Kami Oeloebalang dari landschap Gajo Loeos, Poelau Nas, Meuke', labuhan Hadji, Manggeng, Lho' Pawoh Noord, Blang Pidie, dan Bestuurcommissie dari landschap Bambel, Onderafdeeling Gajo dan Alas. Menimbang bahwa perlu sekali diadakannya peratoeran yang memperlindungi segala djenis benda dan segala padang-padang yang diasingkan boeat persediaan. Oleh karena itoe, dilarang dalam tanah persediaan ini mencari hewan yang hidoep, menangkapnya, meloekainya, atau memboenoeh mati, mengganggoe sarang dari binatang-binatang itoe, mengeloerkan hidoep atau mati atau sebagian dari binatang itoe lantaran itoe memoendoerkan banyaknya binatang"

Pada tahun 1934, berdasarkan ZB No. 317/35 tanggal 3 Juli 1934 dibentuk Suaka Alam Gunung Leuser (Wildreservaat Goenoeng Leoser) dengan luas 142.800 ha. Selanjutnya berturut-turut pada tahun 1936, berdasarkan ZB No. 122/AGR, tanggal 26 Oktober 1936 dibentuk Suaka margasatwa Kluet seluas 20.000 ha yang merupakan penghubung Suaka Alam Gunung Leuser dengan Pantai Barat. Pada tahun 1938 dibentuk Suaka Alam Langkat Barat, Suaka Alam Langkat Selatan dan Suaka Alam Sekundur.

Pada masa setelah kemerdekaan Republik Indonesia, pada tahun 1976, dengan Keputusan Menteri Pertanian Nomor 69/Kpts/Um/12/1976, tanggal 10 Desember 1976 tentang Penunjukan Areal Hutan Kappi seluas 150.000 ha yang terletak di Aceh Tenggara, Daerah Istimewa Aceh sebagai Suaka Margasatwa Kappi. Keputusan tersebut diikuti dengan Pembentukan Instansi Kerja Sub Balai Pelestarian Alam Gunung Leuser pada tahun 1979.

Secara Yuridis Formal keberadaan Taman Nasional Gunung Leuser untuk pertama kali dituangkan dalam Pengumuman Menteri Pertanian Nomor: 811/Kpts/Um/II/1980 tanggal 6 Maret 1980 tentang peresmian 5 (lima) Taman Nasional di Indonesia, yaitu; TN.Gunung Leuser, TN. Ujung Kulon, TN. Gede Pangrango, TN. Baluran, dan TN. Komodo.

Berdasarkan Pengumuman Menteri Pertanian tersebut, ditunjuk luas TN. Gunung Leuser adalah 792.675 ha. Pengumuman Menteri Pertanian tersebut ditindaklanjuti dengan Surat Direktorat Jenderal Kehutanan Nomor: 719/Dj/VII/1/80, tanggal 7 Maret 1980 yang ditujukan kepada Sub Balai KPA Gunung Leuser. Dalam surat tersebut disebutkan bahwa diberikannya status kewenangan pengelolaan TN. Gunung Leuser kepada Sub Balai KPA Gunung Leuser. Berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian Nomor: 166/Kpts/Um/3/1982, tanggal 3 Maret 1982 tentang Perubahan Status sebagian Suaka Margasatwa Kappi seluas 7.200 ha dan Penunjukan sebagian hutan Serbolangit seluas 2.000 ha yang terletak di Aceh Tenggara,Daerah istimewa Aceh sebagai Hutan Wisata Lawe Gurah.

Untuk memberikan kepastian hukum bagi pengelola TNGL pada tahun 1982 telah dikeluarkan 2 (dua) Peraturan, yaitu: Keputusan Menteri Pertanian Nomor: 923/Kpts/UM/12/1982 tentang luas wilayah TN. Gunung Leuser di Propinsi Sumatera Utara adalah 213.985 ha yang merupakan gabungan SM Langkat Selatan dan Barat, SM Sekundur, dan Taman Wisata Sekundur. Serta Keputusan Menteri Pertanian Nomor: 924/Kpts/Um/12/1982 tentang Luas Wilayah TN. Gunung Leuser di Propinsi daerah Istimewa Aceh seluas 586,500 hektar yang merupakan gabungan SM Gunung Leuser, SM Kluet, SM Kappi dan Taman Wisata Lawe Gurah.

Berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam Nomor: 46/Kpts/VI-Sek/84 tentang Penunjukan Wilayah Kerja Taman Nasional, tanggal 11 Desember 1984, disebutkan bahwa Wilayah Kerja TNGL adalah: Suaka Margasatwa (SM) Gunung Leuser, SM langkat Barat, SM Langkat Selatan, SM Sekundur, SM Kappi, SM Kluet, Taman Wisata Lawe Gurah, Taman Wisata Sekundur, Hutan Lindung Serbolangit dan Hutan Lindung dan Hutan Produksi Terbatas Sembabala. Pada tahun 1984 tersebut juga telah ditetapkan Unit Pelaksana Teknis Pengelola TN. Gunung Leuser dengan kantor Pusat di Kutacane, Aceh Tenggara, Daerah Istimewa Aceh.

Sejak tanggal 12 Mei 1984, dengan diterbitkannya SK Menhut Nomor: 096/Kpts-II/1984 menetapkan TNGL merupakan unit Dirjen PHPA yang tingkatannya disamakan dengan eselon III. UPT ini dipimpin oleh seorang Kepala UPT-TN yang bertanggung jawab kepada Dirjen PHPA dan membawahi Sub Bagian TU dan 2 (dua) seksi yaitu Seksi penyusunan Program dan Seksi Pemanfaatan, dilengkapi dengan Kelompok Tenaga Fungsional Konservasi. Ternyata ketentuan struktur organisasi tersebut masih sukar diterapkan dalam pelaksanaan pengelolaan TNGL karena wilayah kerja kawasan TN ini relatif sangat luas.

Sebagai dasar legalitas dalam rangkaian proses penngukuhan kawasan hutan telah dikeluarkan Keputusan Menteri Kehutanan nomor: 276/Kpts-II/1997 tentang Penunjukan TN. Gunung Leuser seluas 1.094.692 hektar yang terletak di Provinsi daerah Istimewa Aceh dan Sumatera Utara. Dalam keputusan tersebut disebutkan bahwa TN. Gunung Leuser terdiri dari gabungan: Suaka Margasatwa Gunung Leuser (416.500 hektar), Suaka Margasatwa Kluet (20.000 hektar), Suaka Margasatwa Langkat Barat (51.000 hektar), Suaka Margasatwa Langkat Selatan (82.985 hektar), Suaka Margasatwa Sekundur (60.600 hektar), Suaka Margasatwa Kappi (142.800 hektar), Taman Wisata Gurah (9.200 hektar), Hutan Lindung dan Hutan Produksi Terbatas (292.707 hektar).

Pada perkembangan selanjutnya, pada tanggal 10 Juni 2002, melalui Keputusan Menteri Kehutanan No. 6186/Kpts-II/2002, tentang Organisasi dan Tata Kerja Taman Nasional, Kepala UPT-TN (Balai TN) membawahi Kepala Sub Bagian TU dan Kepala Seksi Wilayah, selain juga Kelompok Jabatan Fungsional. Saat ini wilayah TNGL terbagi dalam 4 seksi wilayah dan mengikuti struktur organisasi taman nasional tipe A, yaitu di Aceh Tenggara, Aceh Selatan, Langkat Sikundur, dan Langkat Selatan. Khusus wilayah Aceh Tenggara dengan didasarkan oleh karakteristik suku, dibagi lagi menjadi 2 wilayah koordinasi yaitu wilayah Gayo Lues di Blangkejeren dan wilayah Lembah Alas di Kutacane.*** (Sumber: Renstra TNGL)


Mata Uang Aceh

Posted On 9:52 PM by History Of Aceh 0 comments

coin emas dari negara aceh yang perlu kita ketahui

1. sultan saleh ad-din (1530-1539)
















Metal: gold

Diameter: 11 mm / 12 mm / 12 mm




















Obverse:

yellow = Saleh orange = ibn blue = Ali] red = Malik green = al-Zahir

Reverse:

yellow = al-Sultan

red = al-Adil




2. Sultan Ala ad-Din Riayat Shah l-Qahhar (1539-1571)











Metal: gold

Diameter: 12 mm / 11.5 mm

Obverse: Alau al-Din ibn Ali Malik al-Zahir

Reverse: al-Sultan al-Adil












Obverse:yellow = Alau pink = al-Din orange = ibn blue = Ali red = Malik green = al-Zahir Reverse:yellow = al-Sultan red = al-Adil



3. Sultan Hussein ali Ri'ayat Shah (1571-1579)







Metal: gold

Weight: Diameter: 12.5 mm








Obverse: yellow = Ali red = ibn green = Ala blue = al-Din

orange = Malik pink = al-Zahir

Reverse: yellow = al-Sultan red = al-Adil]




4. Sultan 'Ala ad-Din bn Munawar Shah (1585-1589)



















Obverse:yellow = Ali red = ibn green = Munawar blue = Shah

Reverse:yellow = al-Sultan red = al-Adil




5. Sultan Ala ad-Din Ri'ayat Shah ibn Firman Shah (1589-1604)











Metal: gold

Diameter: 12.5 mm












Obverse:yellow = Ala red = 'al-Din orange = ibn green = Firman blue = Shah

Reverse:yellow = al-Sultan red = al-Adil








6. Sultan Iskandar Muda (1607 -1636)








Metal: gold Diameter: 13 mm











Obverse:yellow = Sultan red = Sri green = Iskandar blue = Muda

Reverse:yellow = Joahn green = Berdaulat

red = bin blue = Ali orange = unexplained dot




7. Sultana Taj al-Alam Safiat ad-Din Shah (1641-1675)











Metal: gold Diameter: 13 mm












Obverse:yellow = Paduka green = Sri red = Sultana blue = Taj orange = al-Alam

Reverse:yellow = Safiat blue = al-Din red = Shah green = Berdaulat




8. Sultana Nur al-Alam Naqiat ad-Din Shah (1675-1677)







Metal: gold

Weight: 0.6 gram

Diameter: 13.5 mm








Obverse:yellow = Paduka green = Sri red = Sultana blue = Nurorange = al-Alam

Reverseale yellow = unread partsyellow = Naqiat blue = al-Din red = Shah green = Berdaulat






9. Sultana Zakiat ad-Din Inayat Shah (1678-1688)








Metal: gold

Weight: 0.6 gram

Diameter: 13.5 mm










Obverse:yellow = Paduka green = Sri red = Sultana orange = Inayat blue = Shah

Reverse: pale yellow = unread parts yellow = Zakiat blue = al-Din red = Shah green = Berdaulat






10. Sultana Zinat ad-Din Kamalat Shah (1688-1699)







Metal: gold

Weight: 0.55 gram

Diameter: 13 mm








Obverse:yellow = Paduka green = Sri red = Sultana orange = Kamalat blue = Shah

Reverse: yellow = Zinat blue = al-Din red = Shah green = Berdaulat








Metal: gold

Diameter: 13 mm








Obverse:yellow = Paduka green = Sri red = Sultana orange = Kamalat blue = Shah

Reverse: yellow = Zinat blue = al-Din pale yellow = unexplained parts green = Berdaulat pink = obscured parts






11. Sultan Perkasa Alam Sjarif Lamtui (1702-1703)








Metal: gold

Diameter: 14 mm








Obverse: yellow = Sri red = Sultan green = Perkasa blue = Alam

Reverse: yellow = Lamtui green = Berdaulat red = Shah pale yellow = unexplained dot




12. Sultan Ala ad-Din Ahmad Shah (1727-1735)











Metal: gold



Diameter: 13 mm / 14 mm














Obverse:yellow = Sultan green = Sri blue = Ala red = 'al-Din pale yellow = unexplained part

Reverse:yellow = Amhad blue = shah red = Johan green = Berdaulat pink = this part is obscured due to previous mountin




nah nie lah uang peninggalan kerajaan aceh darussalam .... silahkan ditambahkan jika ada kekurangan


Dari Masa Gemilang yang Otoriter sampai Revolusi dalam Revolusi

Posted On 9:42 PM by History Of Aceh 0 comments

KALAU dalam sebuah uraian sejarah ada kisah tentang betapa musuh bebuyutan tampil sebagai pembela di saat yang dibutuhkan, maka orang pun bisa berkata bahwa sebuah "ironi sejarah" telah terjadi.

KATA ironi dipakai ketika keharusan logika mengalami masalah dalam sistem wacana yang ingin menyalin realitas seutuh mungkin. Bukankah lebih masuk akal kalau musuh mengambil keuntungan, bukannya malah menolong? Tetapi apakah istilah yang bisa dipakai kalau terjadi pertentangan antara gambaran yang dibuat tentang masa lalu dan realitas yang sesungguhnya? Pemalsuan sejarah? Pasti bukan, sebab gambaran atau image bukan kronikel, yang harus memberikan fakta yang "pasti" tentang "apa, siapa, di mana, dan bila". Image hanyalah gambaran mental tentang situasi atau peristiwa masa lalu. Dan, apa pula istilahnya kalau image tentang peristiwa atau situasi di masa lalu itu dijadikan pula sebagai landasan legitimasi dari ideologi kekuasaan? Mitologisasi?



Tetapi sudahlah. Masalahnya ialah kita terlalu biasa menjadikan episode-episode tertentu dari masa lalu sebagai landasan legitimasi bagi tatanan politik yang ingin dibela. Ingat saja gaya Demokrasi Terpimpin atau bahkan Demokrasi Pancasila. Kalau yang satu menyebutkan sistem itu sebagai pantulan autentik dari "kepribadian nasional", maka yang lain mengatakan bahwa dirinya adalah pancaran "jati diri bangsa". Kedua sistem itu membanggakan diri sebagai warisan luhur nenek moyang. Hanya saja, kalau sumber-sumber sejarah yang sahih dijadikan sebagai landasan dalam usaha mengadakan rekonstruksi sejarah-sebagaimana semestinya dalam penulisan sejarah, maka kita pun berhadapan dengan gambaran situasi yang sama sekali berbeda.

Memang benar adanya kerajaan-kerajaan besar dan gemilang bisa ditemukan dalam sejarah-hasil-rekonstruksi yang sah dan kehadiran raja yang agung pun bukanlah pula semata-mata hasil imajinasi sejarawan. Namun, tak satu pun dari kerajaan atau raja yang dibanggakan itu mempunyai sistem kekuasaan dengan ciri-ciri yang pantas disebut demokratis. Bagaimana dengan Majapahit yang konon-menurut versi sejarah yang romantik dan nasionalistis-negara kedua yang mempersatukan Nusantara (sesudah Sriwijaya dan sebelum Negara Kesatuan RI)? Semakin hebat kekuasaan Majapahit semakin "sentralistis" dan otoriter sistem kekuasaannya. Studi De Casparis tentang zaman kuno Jawa memperlihatkan irama sejarah yang nyaris menetap-setiap kerajaan bermula dari situasi konsensus dan berkembang menjadi kekuasaan otoriter dan "sentralistis". Studi De Graaf dan Ricklefs tentang Mataram Baru juga memperlihatkan tendensi yang sama. Setiap raja besar dan kerajaan gemilang di tanah air kita bersandar pada sistem kekuasaan yang otoriter. Jadi, tidak ada kaitannya dengan demokrasi, apa pun kata sifat yang mau diletakkan di belakang kata ini.

Sejarah Aceh Sejarah Pergolakan

Dua bab dari buku terakhir Tony Reid, sejarawan yang semakin terkenal setelah dua jilid bukunya tentang Asia Tenggara abad ke-16 (yang disebutnya sebagai The Age of Commerce) terbit, secara khusus membicarakan perkembangan sistem kekuasaan Kesultanan Aceh Darussalam. Dari uraiannya yang agak mendetail ini tampak pulalah, sebagaimana studi lain pernah juga mensinyalir, bahwa Sultan Iskandar Muda (1607-1639), penguasa yang terbesar dalam sejarah Aceh, adalah pewaris takhta yang sangat berhasil menjalankan sistem kekuasaan yang "sentralistis", otoriter, dan ekspansionis, yang telah dirintis kakeknya. Jadi, betapapun mungkin "masa lalu yang gemilang" bisa memberikan kebanggaan-kebanggaan sejarah memang salah satu ciri nasionalisme, tetapi bila dipakai sebagai landasan ideologis dari kehidupan politik yang dikatakan demokratis hanya akan menimbulkan situasi dilematis yang menyesatkan.

Buku Prof Reid, yang kini menjabat Direktur Asian Research Institute, National University of Singapore, tidaklah khusus berbicara tentang sistem kekuasaan Kesultanan Aceh. Buku yang merupakan kumpulan artikel yang ditulis (tetapi mengalami revisi) dalam rentang waktu selama masa 40 tahun ini sebenarnya tampil dengan tiga tema utama.

Pertama, suatu exercise akademis dengan memperlakukan Sumatera sebagai kesatuan sejarah. Meskipun Bab 12, 13, dan 14 mencoba melihat berbagai peristiwa yang terjadi di Sumatera, khususnya masa pendudukan Jepang dan masa-masa awal revolusi, pada Bab 1, 2, 3, dan 13 penulis menghadapkan dirinya pada usaha melihat Sumatera sebagai sebuah kesatuan sejarah.

Kedua, memperkenalkan lebih mendalam aspek dan dimensi tertentu dari sejarah Aceh. Tak kurang dari tujuh bab yang khusus berbicara tentang dan mengenai Aceh dan boleh dikatakan hanya satu bab saja (Bab 9) yang nyaris tak berbicara tentang Aceh. Bab 9 ini membahas tentang migrasi Cina ke Sumatera Utara/Timur, di saat daerah ini sedang tampil sebagai pusat perkebunan yang sangat menggairahkan di abad ke-19. Sambil lalu boleh juga dikatakan bahwa bab yang cukup detail ini bisa mengingatkan kita pada kisah-kisah sedih para TKI, yang sempat menghebohkan itu. Hanya saja, di samping negara pengirim (China), ada dua negara kolonial calon penerima yang terlibat, yaitu Belanda dan Inggris, yang telah mendominasi Tanah Semenanjung. Pemerintah China sempat juga memenggal kepala seorang calo yang dituduh telah menjerumuskan pekerja migran dalam penderitaan (halaman 217).

Ketiga, mengadakan rekonstruksi berbagai peristiwa sejarah tentang perhatian bangsa lain untuk "bermain" di atas pentas sejarah Sumatera, khususnya Aceh dan Sumatera Utara/Timur. Sebagai yang keempat boleh juga disebut bab terakhir yang mempertentangkan visi kesejarahan Indonesia dan Aceh atau, lebih tepat, Hasan Tiro.

Uraian tentang berbagai aspek sejarah Kesultanan Aceh mendominasi kumpulan tulisan ini. Dari uraian ini kelihatanlah bahwa terwujudnya sistem otokrasi terkait dengan kemampuan pemegang mahkota untuk menguasai jalur perdagangan dan sumber-sumber produksi tanaman ekspor, terutama lada. Jadi, sang raja harus berhadapan dengan para "orang kaya", yang menguasai perdagangan, dan dengan para penguasa daerah. Kemampuan menjinakkan kedua unsur elite inilah yang menjamin kekuasaan sang raja. Tanpa kemampuan ini, bukan saja kestabilan pemerintahan bisa digoyahkan, keselamatan sang raja pun dipertaruhkan.

Meskipun Reid tak mengatakannya secara eksplisit, kesaksian Sheikh Nurruddin ar-Raniri dalam buku ensiklopedisnya, Bustanussalatin (ditulis awal abad ke-17) mengatakan bahwa menjelang konsolidasi kekuasaan ini hampir-hampir tak ada raja yang mangkat atau turun takhta dengan "aman". Barulah di masa pemerintahan Sultan Ala ’ad-din Ri’ayat Syah Sayyid al- Mukammil (1589-1604), masa yang disebut Reid sebagai "royal absolutism" bermula dan mencapai puncaknya di bawah Iskandar Muda. Setelah raja yang perkasa ini mangkat, proses melorotnya kekuasaan raja pun secara bertahap terjadi dan kekuasaan penguasa daerah, panglima sagi, penguasa tiga daerah dekat ibu kota, makin menaik. Iskandar Muda digantikan oleh menantunya, Iskandar Thani, karena sang sultan yang perkasa ini telah lebih dulu menghukum mati putra tunggalnya.

Ketika Iskandar Thani meninggal (1641), para orang besar kerajaan memilih jalan tengah dengan mengangkat permaisurinya (putri Iskandar Muda), Safiyyat al-Din Taj al-Alam (1641-1675) sebagai sultanah. Maka, masa pemerintahan empat sultanah pun bermula. Namun, ketika konspirasi para "orang kaya" berhasil memakzulkan sultanah yang keempat, Kamalat Syah, pada tahun 1699 dengan alasan fikih, maka berakhirlah periode "sultanah" dalam sejarah Aceh. Dan, Aceh pun mempunyai dinasti baru. Tetapi sementara itu peranan para "orang kaya" dan uluebalang semakin penting juga.

Diplomasi Aceh

Dalam konteks sejarah Aceh abad ke-16 dan ke-17 ini Reid berkisah tentang dua hal lain yang biasanya hanya disinggung sambil lalu saja, yaitu tentang festival kerajaan dan hubungan diplomatik Aceh dengan Turki. Dengan bersandar pada sumber-sumber dari para pelancong dan pedagang Barat yang datang ke Aceh, bab ini bercerita tentang berbagai macam keramaian kerajaan-perarakan gajah, perayaan hari-hari besar Islam, upacara perkawinan, penerimaan utusan asing, dan sebagainya. Pokoknya, kata Reid, "Aceh di abad ke-17 tidaklah sekadar pusat perdagangan dan kekuatan militer. Aceh adalah juga sebuah kota yang luas dan kaya yang mempunyai segala sesuatu dan kebudayaan untuk mengembangkan gaya hidup yang menyenangkan, dengan memberi waktu yang banyak bagi olahraga, hiburan, dan kemegahan". Semuanya memancarkan kebesaran dan suasana adikodrati yang menyelimuti sang penguasa (halaman 135).

Setelah Turki Usmaniyah berhasil merebut Konstantinopel (1492), kerajaan ini pun tampil sebagai kekuasaan Islam yang paling megah. Jadi, mestikah diherankan kalau Aceh Darussalam yang baru berhasil menyatukan Aceh ingin mengadakan hubungan aliansi? Kepentingan politik, keharusan perdagangan, dan solidaritas agama adalah motivasi yang terlalu kuat untuk dibiarkan lewat begitu saja, apalagi kekuatan "kafir", Portugis, yang telah menaklukkan Malaka (1511), bukan saja lawan yang harus dikalahkan, tetapi juga kekuatan yang selalu mengancam.

Usaha diplomatik Aceh dimulai oleh Sultan Ala’addin Riayat al Kahar (1539-1571), yang baru memakzulkan saudaranya. Usaha Aceh inilah yang menyebabkan Turki melibatkan diri dalam situasi dagang dan politik di kawasan Asia Tenggara. Bisa juga dipahami keterlibatan Turki ini juga mendorong kerja sama antarkerajaan Islam di Asia Tenggara. "Hubungan diplomasi tahun 1560-an antara Turki dan Aceh mencapai tingkat yang tertinggi dan merupakan unsur yang penting dalam penentuan arah politik Turki dan Aceh" (halaman 89).

Maka, jika kemudian di abad ke-19-sebagaimana dikisahkan Reid pada Bab 10-perjuangan berlandaskan cita-cita pan-Islam terjadi di berbagai pusat kekuasaan, hal ini tentu lebih mudah bisa dipahami. Aceh, Japara, Ternate, Gresik, dan Johor, katanya, adalah pusat-pusat kekuasaan yang mudah terkena cita-cita pan-Islam. Bahkan sesungguhnya meletusnya perang (kolonial) Aceh tidak bisa dipahami dengan baik tanpa mempertimbangkan peranan atau kemungkinan peranan Turki.

Sejarah Kolonial

Bab-bab tentang sejarah Kesultanan Aceh ini memang lebih banyak berbicara tentang aspek perdagangan dan struktur politik. Hal ini tentu bisa dipahami karena melalui kedua jalur inilah Aceh berjaya di perairan Selat Malaka dan di pantai barat Sumatera. Tetapi ada dua bab lagi (8 dan 11) yang menarik meskipun jika penilaian lama ingin dipakai bab-bab ini, terutama Bab 11, bisa dimasukkan ke dalam kategori "sejarah kolonial", bukan dalam pengertian moral, tetapi perspektif. Kedua bab ini bercorak penulisan sejarah yang- sebagaimana dikatakan Van Leur di akhir tahun 1930-an- dilihat dari "dek kapal dan jendela loji". Jadi lebih banyak berkisah tentang orang asing dan nyaris tak memberi tempat bagi anak negeri untuk bermain di atas pentas sejarah yang rekonstruksi itu. Tetapi memang bab-bab dipakai Reid untuk berkisah tentang berbagai pengalaman dan kelakuan orang Eropa dalam berhadapan dengan negeri yang mudah-mudahan bisa dieksploitasi dan dikuasai. Bab 8 boleh dikatakan sebagai "sejarah pinggiran" Aceh karena hanya berkisah tentang berbagai usaha orang atau Pemerintah Perancis dalam berhadapan dengan Aceh di awal abad ke-19. Maka kita pun berkenalan dengan pengalaman yang mengharukan dari dua pendeta Katolik yang masih muda yang ingin menyampaikan "berita gembira" dan tentang gunboat diplomacy yang sempat dijalankan Perancis terhadap Aceh. Abad ke-19 adalah masa menaiknya kolonialisme, tetapi di masa ini Sultan Aceh sempat juga mengadakan kontak dengan Louis Phillipe, Raja Perancis sesudah Revolusi 1830, dan Louis Napoleon, yang meniru pamannya, Napoleon Bonaparte, mengangkat diri sebagai kaisar, dan juga dengan republik yang berdiri kemudian. Sayang bagi Aceh kontak ini tak berjalan mulus. Perancis tak ingin terlibat konflik dengan Belanda.

Di samping menarik sebagai kisah, Bab 11 semakin memperjelas latar belakang agresi yang dilancarkan Belanda di tahun 1873. Bab ini berkisah tentang WH Read, seorang pedagang Inggris yang menetap di Singapura. Karena kemampuan lobinya yang hebat, ia diangkat Pemerintah Belanda sebagai konsul di kota dagang yang telah tumbuh pesat itu. Dengan jabatan ini, Read mendapat hak untuk mengeluarkan visa dengan bayaran bagi setiap kaula Hindia Belanda yang ingin naik haji. Namun, bagi Pemerintah Belanda, ia tampaknya lebih diperlukan sebagai "informan" mengenai hal-hal yang bisa merugikan kepentingan Belanda. Maka timbul juga pertanyaan, jangan-jangan telegram yang dikirimkan Read tentang usaha diplomatik Aceh untuk mendekati Amerika Serikat yang menyebabkan Belanda dengan tergesa-gesa menyerang Aceh. Serangannya ini berakibat fatal bagi Belanda dan serangan yang dilancarkan kemudian menjerumuskan Belanda dalam perang kolonial terlama dan termahal. Memang benar dalam Sumatra Treaty (2 November 1871) Inggris telah memberikan hak kepada Belanda untuk menguasai Aceh, tetapi apakah semudah itu melakukannya? Maka ketika Aceh telah mengadakan usaha diplomatik, Belanda pun kehilangan perhitungan yang matang. Dalam masa 40 tahun "perang Aceh" sekian banyak nyawa melayang di kedua belah pihak. Timbul juga pertanyaan, apakah perang yang berkepanjangan ini benih yang menumbuhkan "tradisi perlawanan" dalam budaya dan masyarakat Aceh?

Perpecahan Masyarakat Aceh

Salah satu dampak struktural dari "perang Aceh" dan kekuasaan kolonial ialah terpecahnya sistem kepemimpinan Aceh-uluebalang, yang didukung pemerintah kolonial, dan ulama, yang selalu dicurigai. Ketika Jepang telah mulai mengancam, perpecahan struktural ini semakin menampakkan dirinya dalam realitas. Ketika militer Jepang masih berada di Tanah Semenanjung, pemberontakan terhadap Belanda terjadi dan di saat kekuasaan Jepang telah semakin opresif di beberapa tempat pemberontakan terhadap Jepang juga meletus.

Ketika revolusi nasional telah sampai di Aceh seorang uluebalang yang mempunyai reputasi nasionalistis, Teuku Nyak Arief, diangkat menjadi residen republik. Tetapi di saat itu pula pertempuran terbuka antara pendukung ulama dan uluebalang di Pidie terjadi. Drama "Perang Cumbok" terjadi-rakyat Aceh telah saling membunuh. Hampir semua uluebalang Pidie mati terbunuh (awal 1946). Tak lama kemudian pemuda PUSA mengadakan "revolusi sosial" di pantai timur, dari selatan menuju utara dan sepanjang perjalanan membersihkan segala unsur yang dianggap mewakili "kekuasaan feodalisme".

Akan tetapi, "revolusi dalam revolusi" bukanlah monopoli Aceh. Revolusi sosial yang dahsyat terjadi juga di Sumatera Timur-sultan-sultan yang selama ini mendapat hak-hak istimewa pemerintah kolonial jadi sasaran. Bahkan di Sumatera Barat, dengan waktu dan tingkat intensitas yang lebih rendah, revolusi sosial juga terjadi.

Sumatera sebagai Medan dan Kesempatan

Akhirnya, kalimat pertama dari Bab I buku ini baik juga kalau dikutip: "Sumatra is a frontier. Bagi peradaban lama di sekitar Lautan Hindia ia selalu merupakan sebuah pulau misterius di Timur yang dilimpahi kekayaan-Swarnadwipa, pulau mas yang menjadi pintu masuk ke semua kekayaan Asia Tenggara. Bagi Indonesia, pulau ini adalah pulau kesempatan, kekayaan alam yang melimpah dan dinamisme ekonomi".

Tetapi bukankah aneh juga kalau pulau ini tak pernah merupakan suatu kesatuan-tidak dalam sistem kekuasaan, bahkan tidak pula dalam bayangan masa depan. Sriwijaya adalah kerajaan besar, tetapi terlupakan dalam ingatan kolektif, kehadirannya dalam sejarah adalah hasil penemuan. Kekuasaan Kesultanan Aceh di luar Aceh tak berumur panjang. Islam secara bertahap memasuki daerah pedalaman, tetapi sejak akhir abad ke-19 misi Kristen mulai pula memasuki wilayah ini, khususnya di sekitar Danau Toba. Maka cita-cita ke-Sumatera-an tak lebih daripada bayangan yang lewat di atas pentas sejarah.

Jong Sumatranen Bond dan Konferensi Persatuan Sumatera di Sibolga dan Padang di awal tahun 1920-an, bahkan juga (tetapi tak diceritakan buku ini) terbentuknya Sarekat Sumatra, hanyalah episode sejarah yang perlu dicatat saja. Kesatuan administratif Provinsi Sumatera yang berpusat di Medan, dan terpisahnya Sumatera dengan wilayah Indonesia lain, di masa pendudukan Jepang-Jawa di bawah Tentara ke-16, Indonesia bagian timur di bawah angkatan laut, sedangkan Sumatera di bawah kekuasaan Tentara ke-25-tidak mengubah kecenderungan akan keterikatan Sumatera dengan wilayah lain. Malah yang terjadi ialah sekian banyak "anak Sumatera" yang tampil sebagai pelopor nasionalisme Indonesia. Rupanya perbedaan internal yang kompleks seakan-akan telah menjadikan nasib Sumatera hanya mempunyai dua pilihan: terpecah-pecah atau terikat dalam kesatuan lain di luar dirinya.

Bahkan ketika Jepang akhirnya memutuskan untuk mengikutsertakan Sumatera dalam persiapan kemerdekaan Indonesia, pemerintah militer tidak mengirim para tokoh yang telah sempat meneguhkan kedudukan mereka sebagai pemimpin Sumatera yang disegani. Pemerintah militer Jepang memilih tokoh-tokoh lain sebagai wakil Sumatera. Maka bisa diperkirakan bahwa ketika Pemerintah RI yang baru berumur dua-tiga hari mengangkat mereka sebagai gubernur dan wakil gubernur Provinsi Sumatera-TM Hassan dan M Amir-mereka sangat tergantung pada legitimasi yang diberikan Soekarno-Hatta. Tetapi sementara itu daerah-daerah yang telah mempunyai kepemimpinan yang kuat dengan segera menampilkan diri sebagai kekuatan republik.

Berbagai peristiwa di masa revolusi, seperti Konferensi Sumatera yang disponsori Negara Sumatera Timur, di Medan (1949), dan bahkan kemudian, ketika kekecewaan daerah kepada pusat telah semakin memuncak, dengan meletusnya PRRI/Permesta (1958) ternyata kekuatan nasionalisme Sumatera tak berarti apa-apa. Perbedaan internal tak bisa diabaikan. Tetapi dinamika yang langsung atau tidak didorong oleh kolonialisme penting diketahui. Keamanan relatif di bawah kolonialisme mendorong terjadinya migrasi. Kemudian ternyatalah bahwa gerak ke arah modernisasi lebih banyak berasal dari orang pedalaman, yang bertani di lembah-lembah dataran tinggi, yang bermigrasi itu. "Nenek moyangku orang pelaut" hanyalah nyanyian romantik, tetapi kemajuan dalam pendidikan digerakkan oleh orang dari pedalaman-Batak, Minangkabau, dan Minahasa secara statistik lebih maju dalam pendidikan.

Begitulah buku yang terdiri dari 15 bab ini membawa kita menjelajahi berbagai aspek sejarah Sumatera. Dengan buku ini Reid memberikan kesempatan kepada kita untuk membaca tulisan-tulisannya yang tersebar di lima belas penerbitan. Harus diakui juga bahwa kumpulan tulisan bisa menyebabkan penasaran. Coba kalau hal-hal ini dan itu dibicarakan juga, bukankah kita akan mendapatkan gambaran yang lebih utuh tentang tema utama? Jika aktivitas dan peranan para ulama besar seperti Hamzah Fansuri, Syamsuddin as-Sumatrani, Abdur Rauf al-Singkili, dan Nurruddin ar-Raniri dibicarakan, barangkali arti Aceh dalam sejarah "dunia Melayu" akan semakin kelihatan. Kalau Reid juga membicarakan komposisi etnis dan interpenetrasi etnis bukankah pengetahuan kita tentang Aceh semakin mendalam, karena Aceh pun hanyalah kesatuan etnis terbesar saja di daerah yang disebut Aceh itu? Dan seterusnya.

Tetapi sebaliknya, kumpulan tulisan memberikan kita pengetahuan yang relatif utuh tentang hal-hal tertentu tanpa harus mengikatkannya dalam suatu kesatuan besar. Keterpenggalan dalam mengupas masalah ternyata mempunyai fungsi penting juga dalam pengerjaan keilmuan. Maka begitulah, sebuah buku yang sangat berharga bagi mereka yang ingin memperdalam pengetahuan sejarah, bukan saja tentang Sumatera dan Aceh, tetapi bahkan juga Indonesia dan Asia Tenggara, telah dihasilkan. Dengan buku ini Reid kembali membuktikan dirinya sebagai sejarawan yang lebih tertarik pada penemuan fakta yang sahih daripada berspekulasi tentang bagaimana "masa lalu itu semestinya" dipahami

by : Taufik Abdullah Sejarawan


Teungku Muhammad Daud Beureueh Bapak Darul Islam

Posted On 9:08 PM by History Of Aceh 0 comments

Teungku Muhammad Daud Beureueh adalah salah satu tokoh ulama besar Aceh. Bersama ulama lain pada zamannya, beliau berjuang mengibarkan dan menegakkan panji-panji Islam di bumi Aceh. Sebagaimana yang pernah dituturkannya kepada Boyd R. Compton dalam sebuah wawancara, "Anda harus tahu, kami di Aceh ini punya sebuah impian. Kami
mendambakan masa kekuasaan Sultan Iskandar Muda, pada masa Aceh menjadi Negara Islam. Di zaman itu, pemerintahan memiliki dua cabang, sipil dan militer. Keduanya didirikan dan dijalankan menurut ajaran agama Islam. Pemerintahan semacam itu mampu memenuhi semua kebutuhan zaman moderen. Sekarang ini kami ingin kembali ke sistem pemerintahan semacam itu". (Boyd R. Compton, Surat-Surat Rahasia Boyd R.Compton, Jakarta: LP3ES, 1995)



Siapakah Dia?

Teungku M. Daud Beureueh dilahirkan pada 15 September 1899 di sebuah kampung bernama "Beureueh", daerah Keumangan, Kabupaten Aceh Pidie. Kampung Beureueh adalah sebuah kampung heroik Islam, sama seperti kampung Tiro. Ayahnya seorang ulama yang berpengaruh di kampungnya dan mendapat gelar dari masyarakat setempat dengan sebutan "Imeuem (imam) Beureueh". Teungku Daud Beureueh tumbuh dan besar di lingkungan religius yang sangat ketat. Ia tumbuh dalam suatu formative age yang sarat dengan nilai-nilai Islam di mana hampir saban magrib Hikayat Perang Sabil dikumandangkan di setiap meunasah (masjid kampung). Ia juga memasuki masa dewasa di
bawah bayang-bayang keulamaan ayahnya yang sangat kuat mengilhami langkah hidupnya kemudian.

Orang tuanya memberi nama Muhammad Daud (dua nama Nabiyullah yang diberikan kitab Alquran dan Zabur). Dari penamaan ini sudah terlihat, sesungguhnya yang diinginkan
orang tuanya adalah bila besar nanti ia mampu mengganti posisi dirinya sebagai ulama sekaligus mujahid yang siap membela Islam. Karena itu, pada masa-masa usia sekolah,
ayahnya tidak memasukkan beliau ke lembaga pendidikan resmi yang dibuat Belanda seperti: Volkschool, Goverment Indlandsche School, atau HIS. Namun lebih mempercayakan kepada lembaga pendidikan yang telah lama dibangun ketika masa kerajaan Islam dahulu semodel dayah/zawiyah. Yang menjiwai ayahnya adalah semangat anti-Belanda/penjajah yang masih sangat kuat. Apalagi ketika itu Aceh masih dalam
suasana perang di mana gema Hikayat Perang Sabil masih nyaring di telinga masyarakat Aceh.

Dalam pusat pendidikan semacam ini, Daud ditempa dan dididik dalam mempelajari tulis-baca huruf Arab, pengetahuan agama Islam (seperti fikih, hadis, tafsir, tasawuf, mantik, dsb), pengetahuan tentang sejarah Islam, termasuk sejarah tatanegara dalam dunia Islam di masa lalu, serta ilmu-ilmu lainnya. Dari latar belakang pendidikan yang diperolehnya ini, tidak disangsikan lagi, merupakan modal bagi keulamaannya kelak.

Sekalipun tidak mendapatkan pendidikan Belanda, namun dengan kecerdasan dan kecepatannya berpikir, beliau mampu menyerap segala ilmu yang diberikan kepadanya itu, termasuk bahasa Belanda. Kebiasaannya mengkonsumsi ikan, yang merupakan kebiasaan masyarakat Aceh, telah membuatnya menjadi quick-learner (mampu belajar cepat).

Kemampuan yang luar biasa ini, sebagian besar karena ia merasa menuntut ilmu adalah wajib. Maka belajar tentang segala sesuatu, dipersepsikannya hampir sama dengan
"mendirikan shalat". Dalam usia yang sangat muda, 15 tahun, ia sudah menguasai ilmu-ilmu Islam secara mendalam dan mempraktekkannya secara konsisten. Dengan segera pula ia menjadi orator ulung, sebagai "singa podium." Ia mencapai popularitas yang cukup luas sebagai salah seorang ulama di Aceh. Karena itu, beliau mendapat gelar "Teungku di Beureueh" yang kemudian orang tidak sering lagi menyebut nama asli beliau, tetapi nama kampungnya saja. Ketenaran seorang tokoh di Aceh senantiasa melekat pada kharisma kampungnya. Kampung adalah sebuah entitas politik yang pengaruhnya ditandai dengan tokoh-tokoh perlawanan. Dari kenyataan ini, seorang yang terlahir dari sebuah entitas resisten, tidak akan pernah berhenti melawan sebelum cita-cita tercapai. Kendatipun pihak lawan menggunakan segala daya dan upaya untuk membungkam perlawanan tersebut.

Dari PUSA Menuju Darul Islam

Untuk membungkam dan memadamkan perlawanan Muslim Aceh, Belanda, atas saran Snouk Hourgronje, melakukan pengaburan konsep tauhid dan jihad. Belanda membuat aturan pelarangan berdirinya organisasi-organisasi politik Islam. Restriksi ini membuat para ulama di Aceh berang dan ingin mengadakan pembaruan perjuangan melawan penjajah Belanda. Maka atas inisiatif beberapa ulama yang dipelopori oleh Teungku Abdurrahman, dibentuk sebuah organisasi yang bernama PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh) di Matang Glumpang Dua. Dalam kongres pembentukannya, dipilihlah Teungku Muhammad Daud Beureueh sebagai ketua. Aceh adalah negeri sejuta ulama, dan mengetuai organisasi politik ulama berarti juga secara de facto menjadi "Bapak Orang-Orang Aceh".

Semenjak itu, Daud Beureuh memegang peranan sangat penting di dalam pergolakan-pergolakan di Aceh, dalam mengejar cita-citanya menegakkan keadilan di bumi Allah dengan dilandasi ajaran syariat Islam. Sehingga, umat Islam dapat hidup rukun, damai dan sentosa sebagaimana yang dulu pernah diperbuat oleh raja-raja Islam sebelum mereka. Menurut catatan Compton, "M Daud Beureueh berbicara tentang sebuah Negara Islam untuk seluruh Indonesia, dan bukan cuma untuk Aceh yang merdeka. Ia meyakinkan, kemerdekaan beragama akan dijamin di negara semacam itu, dengan menekankan contoh mengenai toleransi besar bagi penganut Kristen dalam
negara-negara Islam di Timur Dekat. Kaum Kristen akan diberi kebebasan dan dilindungi dalam negara Islam Indonesia, sedangkan umat Islam tidak dapat merasakan kemerdekaan sejati kalau mereka tidak hidup dalam sebuah negara yang didasarkan atas ajaran-ajaran Alquran."

Langkah awal dalam upaya itu adalah mengusir segala jenis penjajahan yang pernah dipraktekkan Belanda, Jepang, dan zaman revolusi fisik (1945-1949) pada awal kemerdekaan, maupun ketika Aceh berada di bawah kekuasaan Orde Lama Soekarno dan Orde Baru Soeharto. Sejak saat itulah, Teungku Daud Beureueh diyakini oleh orang-orang sebagai "Bapak Darul Islam".

Daud Beureueh dikenal luas sebagai Gubernur Militer Aceh selama tahun-tahun revolusi. Tetapi ketika jabatannya sebagai Gubernur Militer Aceh, Langkat dan Tanah Karo dicabut oleh PM Mohammad Natsir, ia hidup tenang-tenang di desanya --tampaknya seperti pensiun.

Setelah Aceh masuk ke dalam Republik Indonesia Komunis (RIK) di bawah panji Pancasila, Daud Beureueh diberi jabatan Gubernur Kehormatan dan diminta menetap di Jakarta sebagai penasihat di Kementerian Dalam Negeri. Ia tidak menerima penghormatan ini. Satu-satunya tindakan pentingnya yang diketahui umum adalah pada saat ia mengetuai Musyawarah Ulama Medan, April 1951. Setelah musyawarah itu, Daud
Beureueh melakukan tur singkat keliling Aceh, memberikan ceramah-ceramah provokatif bernada mendukung ide Negara Islam. Ia kemudian kembali ke desanya, dan --membuat takjub penduduk Medan yang sudah maju-- membangun sebuah tembok besar dan masjid sungguhan dengan tangannya sendiri. Daud Beureueh lebih tampak sebagai pensiunan perwira militer ketimbang sebagai ahli agama, meskipun ia menyandang gelar teungku.

Teungku Daud Beureueh adalah "Bapak Orang-Orang Aceh" yang tetap tegar meski dikecewakan oleh kaum fasiqun di Jakarta. Dengan postur tubuhnya yang kurus tapi kuat, ia adalah tipe manusia ideal. Sebagaimana dicatat oleh Compton, dari bawah pecinya, rambut kelabunya yang dipangkas pendek kontras dengan wajahnya yang muda dan coklat kemerahan. Bicaranya lugas, bahkan pernyataannya banyak yang blak-blakan. Misal: "Saya tanya, apakah pemerintahan seperti itu mampu mengatasi masalah-masalah Aceh sekarang ini? Ya, ambillah pengairan sebagai contoh. Pada zaman Iskandar Muda,
dibuat saluran dari sungai yang jauhnya sebelas kilometer dari sini menuju laut. Daerah Pidie menjadi sangat makmur. Dibuat pula saluran lain tak jauh dari yang pertama, keduanya dikerjakan oleh ulama. Beda dengan ulama zaman sekarang, pemimpin-pemimpin di masa itu tak takut sarung mereka kena lumpur. Sekarang saluran-saluran itu sudah rusak, dan hasil panen padi merosot. Sebelum terjadi perang, Aceh biasa mengekspor beras untuk kebutuhan seluruh wilayah Mardhatillah Sumatera Timur. Sekarang kita mengimpor beras dari Burma".

Dalam impiannya, ia melihat sebuah Aceh yang sejahtera di bawah pimpinan kelompok ulama yang ditampilkan kembali. Di masa keemasan itu, hanya orang-orang yang benar-benar berpengetahuan yang dapat menjadi ulama. Sedangkan di zaman modern ini, hampir setiap orang dengan bermodalkan "taplak meja dililitkan di leher" bisa mengaku berhak untuk disebut ulama.

Daud Beureueh bicara dengan gelora dan kesungguhan tentang perlunya pembaruan. Setelah semua kemungkinan terbentuknya sistem politik Islam sirna dan janji-janji
Soekarno akan menjadikan Indonesia sebagai Negara Islam tidak pernah ditepati, maka jiwa jihad Teungku Daud Beureueh pun bergolak. Ia kemudian menjadikan Aceh sebagai "Negara Bagian Aceh-Negara Islam Indonesia" (NBA-NII) dan berjuang hingga tahun 1964 di gunung-gemunung Tanah Rencong. Soekarno, meskipun terkenal hebat di mata orang-orang Aceh, namun karena penipuannya terhadap orang Aceh, nama Soekarno
identik dengan berhala yang harus ditumbangkan.

Compton bisa memahami mengapa orang-orang membandingkan Daud Beureueh dengan Soekarno yang cemerlang sebagai orator massa. Seandainya keduanya berpidato di sebuah acara yang sama, konon Soekarno akan menjadi juara kedua jika pendengarnya orang Aceh, terutama kalau sang "Singa Aceh" sudah mulai gusar dan marah.

Sementara ia terus bicara tentang pemerintahan Islam di Aceh, Compton merasa bahwa aneka kasak-kusuk yang ia bawa dari Medan menjelang Pemilu 1955 telah sangat
menyesatkannya. Ketika Compton menanyakan apakah sikap ini tak mengandung semacam kontradiksi, Teungku Daud Beureueh menandaskan, sebagai sebuah negara demokrasi, Indonesia harus tunduk pada kehendak-kehendak mayoritas Muslim. Ia yakin partai-partai Islam akan menang besar dalam sebuah pemilihan umum.

Daud Beureueh melihat ada tiga kelompok di Indonesia dewasa ini: kaum komunis yang menginginkan negara Marxis-ateistik, umat Islam yang menghendaki Negara Islam, dan golongan nasionalis tertentu yang mau menghidupkan kembali Hinduisme-Jawa (Negara Pancasila). Ia cemas bahwa golongan Hindu dan Marxis sedang mengakar, tapi mereka
sendiri khawatir kalau pemilihan umum diadakan, sebab mereka pasti kalah. Karena alasan ini, menurut Daud Beureueh, mereka akan berusaha habis-habisan untuk menunda-nunda pelaksanaan pemilu. Ketika itu Teungku Daud Beureueh masih berharap dengan Pemilu, namun setelah ia sendiri terjungkal oleh seorang Perdana Menteri yang merupakan output dari sistem pemilu, ia kemudian melabuhkan harapan hanya pada
perjuangan fisik. Islam telah dikalahkan secara diplomatis oleh kemenangan-kemenangan Partai Islam yang tidak memberi manfaat apapun bagi asersi politik Islam.

Akibat sikapnya ini, Teungku Abu Daud Beureueh kemudian dilumpuhkan secara sistematis oleh Pemerintah Orde Baru. Ia kemudian meninggal pada tahun 1987 dalam keadaan buta --buta yang disengaja oleh Orde Baru-- dan dalam suatu prosesi
pemakaman yang sangat sederhana, tanpa penghormatan yang layak dari orang-orang Aceh yang sudah terkontaminasi oleh ide-ide sekuler. R William Liddle yang sempat menghadiri upacara pemakaman Teungku Daud Beureueh menggambarkan
bagaimana mengenaskannya saat-saat terakhir dan pemakaman pemimpin Aceh yang terbesar di paruh kedua abad keduapuluh. "Saya hadir di situ, antara lain, sebagai ilmuwan sosial dan politik untuk mengamati sebuah kejadian yang bersejarah, yang mungkin akan melambangkan sesuatu yang lebih besar dan penting dari upacara pemakaman biasa. Namun, --menurut penglihatan Liddle sebagai pengamat asing-- dalam kenyataannya, meninggalnya Teungku Abu Daud Beureueh adalah "meninggalnya seorang suami dan ayah yang dicintai, seorang alim yang disegani, dan seorang pemimpin masyarakat sekitar yang dihormati." Tidak lebih dari itu. Seakan-akan dan
memang inilah kesimpulan Liddle waktu itu bahwa zaman kepahlawanan Teungku Abu Daud Beureueh telah berlalu, hampir tanpa bekas. Bersamaan berpulangnya "Bapak Orang-Orang
Aceh", maka Aceh kemudian memasuki babak baru pembangunan dan modernisasi yang gempita di mana kemaksiatan dan sekulerisme adalah agama baru yang disambut kalangan terpelajar perkotaannya secara sangat antusias.

Al Chaidar

Copyright© Suara Hidayatullah, 1999


Perlawanan Cik Patekulu Dalam Sastra Aceh Abad Ix

Posted On 9:07 PM by History Of Aceh 0 comments

ACEH di masa lalu punya suatu bentuk kesusastraan yang tinggi di wilayah Nusantara. Namun, karena adanya kemunduran intelektual di wilayah ini setelah pelarangan buku-buku dan ajaran Ar-Raniri dan Hamzah Fanshuri (abad ke-11 sampai abad ke-14), Aceh jatuh ke dalam kemunduran intelektual yang parah.

Namun, dalam kurun waktu kira-kira empat abad, ajaran-ajaran Fanshuri dan Ar-Raniri dapat diwariskan rakyat Aceh dalam wacana sastra lisan (Oral History). Oral history itu terformat dalam banyak bentuk pola karya sastra berupa haba (baca: khabar) dan hikayat. Hikayat merupakan satu bentuk oral history yang paling populer di Aceh dan paling membangkitkan semangat perjuangan melawan kolonial di Aceh.




Lewat hikayat ini pulalah rakyat Aceh menerima warisan "Martabat Tujuh" dari ajaran Hamzah Fanshuri dan Ar-Raniri. Ini salah satu dasar yang mengilhami perjuangan Aceh sampai munculnya hikayat paling terkenal Hikayat Perang Sabil. Yang dikarang Haji Muhammad Pantekulu. Ia lebih dikenal dengan panggilan Cik Pantekulu.

Sebelum memulai tulisan ini lebih lanjut, ada baiknya penulis ingin mengutarakan landasan Kebudayaan Islam yang menopang kehidupan dan gerak maju umat ini di setiap wilayah (negeri) kaum Muslimin. Penulis sangat tertarik dengan sebuah judul tulisan Roger Garaudi berjudul "Segala Seni Membawa Kepada Mesjid dan Segala Mesjid Membawa Kepada Shalat" dalam bukunya Promeses de l'lslam ('Janji-janji Islam'). 40 tahun lalu, Sidi Gazalba juga pernah menulis judul semacam ini, namun dalam tinjauan yang berbeda. Dari tulisan Garaudi tersebut, dalam gambaran kebudayaan Islam, masjid demikian mulia artinya. Dapatlah dimengerti, mengapa umat Islam Aceh demikian sangat marah tatkala orang-orang Belanda membakar Masjid Raya Banda Aceh pada tahun pertama 1873 aneksasi Beollanda terhadap Aceh. Setiap orang Aceh yang sadar arti masjid mengamuk dan menghantam menyerang Belanda dengan sengitnya di ibu kota Banda Aceh Darus-Salam yang setelah ditaklukkan Belanda menjadi Kutaraja.

Dalam Islam, kebudayaan (termasuk kesenian) bukanlah tujuan dalam praktik hidup mereka. Kebudayaan selalu diletakkan di bawah agama. Ini akan menjadi jelas bila kita ambil pola pembagian kebudayaan oleh antropolog Barat begitu juga sebagian antropolog Timur seperti Kuntjaraningrat dan Gazalba. Dalam pebagian sub-sub kebudayaan itu, agama dijadikan tujuan hidup. Bagi kalangan Muslim, agama sebagai praktik hidup boleh ditaruh di antara sub-sub kebudayaan, sedangkan sub-sub kebudayaan harus dilandasi agama sebagai tujuan terakhir. Dengan bahasa lain, secara makro agama menguasai sub-sub kebudayaan.

Dalam mahkota kebudayaan Islam, selalu tercantum Alquran pada tingkat tertinggi, Hadis pada tingkat kedua dan Qiyas pada tingkat ketiga. Di bawah tiga mahkota inilah sub-sub kebudayaan diletakkan, antara lain: Kehidupan sosial, ekonomi, politik, iptek, filsafat, seni, dan agama. Ketujuah sub kebudayaan ini mengacu kepada 4 (empat) nilai, antara lain, nilai historis, nilai estetik, nilai etik, dan nilai makna atau tujuan akhir. Inilah jawaban dari sebuah pertanyaan dari artikel seminar Historiografi Karl A. Stenbrink, di IAIN Sunan Kalijaga tahun 1985 yang termaktub "Bagaimana Menentukan Unsur Agama Dalam Kehidupan Sosial Politik?" (Lihat Muin Umar, Dua Dimensi, Yogyakarta, Mei 1985).

Rasa cinta agama

Mr. S.M. Amin dalam karanganya "Sejenak Meninjau Aceh, Serambi Mekah", memaparkan bahwa rasa cinta agama dan kemerdekaanlah yang menjiwai masyarakat Aceh melawan kafir (kaphee) Belanda dalam perangnya melawan kolonialisme Belanda. (Bunga Rampai Tentang Aceh hal; 46, Bhratara Jakarta, 1980)

Tidaklah asing jika seorang kopral marsose, seorang veteran Perang Aceh, H.C. Zentgraaff, yang kemudian menjadi direktur utama surat kabar berbahasa Belanda terbesar di Hindia Belanda Java Bode melaporkan tulisan-tulisannya yang sangat fair pandangan matanya tentang perlawanan dan kepahlawanan rakyat Aceh. Suatu penilaian yang sama sekali berbeda dengan kebanyakan penulis Belanda yang menaruh atau melemparkan seluruh sifat jelek dan kebinatangan kepada rakyat Aceh. Zentgraaff memiliki kekaguman yang luar biasa kepada rakyat Aceh yang sungguh heroik. Ia menulis bukan berdasar suatu tinjauan selintas (seketika) sebagaimana kebanyakan wartawan memotret satu kejadian dengan sekali jepret tanpa pendalaman lebih jauh ke dalam peristiwa. Zentgraaff meninjau segala-galanya (hampir dari semua sisi) suatu kejadian yang ditemuinya di medan perang Aceh yang besar dan banyak menghabiskan kas negara Belanda itu. Catatan-catatan Zentgraaff disatukan menjadi buku dengan judul De Atjeh yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berjudul Perang Aceh.

Aceh di abad ke-19, tepatnya sejak awal aneksasi Belanda terhadap wilayah ini 24 Januari 1873, menjadi daerah yang paling banyak dibicarakan dalam peta politik internasional saat itu. Kengerian Belanda terhadap Aceh sama dengan kengerian Amerika terhadap Vietnam tahun 1960-1975 yang menyebabkan Amerika menyerah sebelum pertempuran resmi berakhir. Sebagaimana Aceh, Vietnam juga sangat menguras kas negara Paman Sam pada tahun 1960-an itu.

Catatan bagi banyak penulis Orientalis, ibadah ritual Haji sangat mengilhami banyak perlawanan umat Islam di negeri-negeri terjejah sejak terbukanya jalan ke Timur yang dimulai oleh perjalanan sukses Vasco da Gama dan Colombus melewati Tanjung Harapan di Afrika Selatan. Hal ini juga tak terelakkan bagi Cik Pantekulu, (Haji Muhammad Pantekulu) yang berkenalan dengan Gerakan Wahabi di Tanah Suci di abad ke-18 atau awal abad ke-19. Selain itu, ia juga berkenalan dengan tokoh kebangkitan Islam Jamaludin al-Afghani, Sayid Qutb, Sayid Rasyid Ridha, dan lain sebagainya.

Cik Pantekulu adalah seorang ulama, yang pada waktu berada di Makkah banyak membaca epos perang di zaman Rasul, antara lain Hikayat Perjuangan Hasan bin Tsabit, Hikayat Pejuang Khalid Bin Walid Perjuangan Kaab bin Zubair, Kepemimpinan Umar bin Khaththab, yang kesemua cerita tersebut tertuang dalam syair-syair berbahasa Arab yang bercita rasa sastra tinggi dan kehalusan bahasa yang sulit ditandingi saat itu.

Dianeksasi Belanda

Pada waktu itu Cik Pantekulu sudah tahu bahwa bulan Januari 1873 Aceh dianeksasi penjajah Belanda dan membakar Masjid Raya Banda Aceh Darussalam. Nama kota Banda Aceh diganti kolonial dengan nama Kutaraja. Ulama Aceh yang cukup besar pengaruhnya di Aceh, Syekh Abdus Saman (lebih dikenal Syekh Saman) mengumpulkan para ulama lainnya untuk membangkitkan semangat juang rakyat Aceh melawan Kaphee Belanda. Syekh Saman menciptakan satu tari perang yang disebut "tari Saman" yang diselingi pembacaan selawat (puji-pujian kepada Nabi) dan disampirkan pula dengan syair berbahasa Aceh agar dapat dimengerti oleh pejuang-pejuang Aceh pesan yang disampaikan Syekh Saman kepada pemuda dan pemudi Aceh. Syair-syair yang diselipi di antara selawat nabi dalam tari Seudati yang menggelora itu, mengajak pejuang-pejuang Aceh berjuang tanpa henti melawan penjajah, memerangi musuh-musuh Allah yang tak pernah henti-henti mencoba menghancurkan agamanya di mana-mana. Satu dari syair yang diselipi di antara selawat dalam tari seudati itu berbunyi:

"Jak tamurang hai boh atee
mujak matee beuta ridla
hudon adoe gulam beuda
jak prang kaphee cang belanda

artinya:

Pergi berperang wahai jantung hatiku
relakan walau pun mati akhirnya
bangunlah dik, sandang senapan
pergi perangi kafir belanda laknat ilahi

Cik Pantekulu yang sudah lama bermukim di Tanah Suci melaksanakan ibadah haji dan menuntut ilmu, 28 tahun setelah belanda menganeksasi Aceh, memutuskan untuk pulang ke tanah airnya dengan menumpang kapal laut. Dalam perjalanannya antara Mekah-Banda Aceh, ia menulis banyak syair-syair pembangkit semangat perang melawan penjajah kaphe Belanda yang akhirnya dikenal dengan kumpulan syair Hikayat Perang Sabil atau (Hikayat Perang Sabee) di tahun 1881. Kita tak perlu heran dengan kemapuan Cik Pantekulu mencipta puisi-puisi "Hikayat Perang

Sabee" atau kemapuan Syekh Saman menciptakan tari Seudati yang menggelorakan setiap darah pemuda Aceh mengingatkan kezaliman penjajah Belanda di masa lalu.

Aceh jauh sebelum kedatangan Belanda di Tanah Rencong merupakan gudang para ulama sekaligus gudang pemikir keagamaan, tokoh sufi yang punya kemampuan menulis, baik masalah agama, tasawuf, maupun sastra. Hamzah Fanshuri dikenal sebagai bapak "Pantun Melayu" yang pertama menciptakan pantun yang diakui di Indonesia, Malaysia, Brunei, dan Singapura. Kemudian Aceh dalam masa Pergolakan menentang kolonial Belanda, menemukan dimensi baru penciptaan syair-syair perlawanan penuh semangat menentang kezaliman kaphee Belanda.

Inilah bentuk perkembangan syair (kesusastraan) Aceh 4 (empat) abad setelah ditinggalkan bapak Kesusasteraan Melayu Hamzah Fanshuri yang banyak bermuatan tasawuf, filsafat, agama, kini berubah menjadi syair penuh gelora yang menyalakan semangat perang karena musuh bukan lagi dalam bentuk wacana, tapi secara fisik sudah di depan mata dan mendahului mereka menyerang umat Islam. Berarti, setelah terputusnya persajakan Aceh selama kurang lebih 4 (empat) abad kemudian barulah diteruskan warisan kepenyairan Aceh yang besar itu oleh Cik Pantekulu yang melahirkan kumpulan puisi Hikayat Perang Sabil. Dalam antologi ini, gambaran surga menjadi jelas dan nyata di mata rakyat Aceh, rasa berada di sisi Tuhan apabila syahid di medan juang, kegembiraan menemui maut di medan jihad adalah harapan yang terus bergaung dan dipompakan kepada rakyat.

Dalam syair tersebut terungkap bahwa kemenangan Aceh pasti ada di tangan Allah SWT. Hal ini membuat seluruh rakyat Aceh tak kenal lelah untuk berjuang. Inilah satu karya Ci Pantekulu yang diciptakannya dalam perjalanan pulang dari Makkah ke tanah air yang dicintainya yang sedang dirundung malang dijajah oleh Kaphee Belanda:

Dalam seuruga na saboh ayoen
me alon-alon, mengisa-gisa
soe teumeeneng ek lam ayoen nyan
seulamat iman atee lam dada"

artinya:

Dalam surga ada sebuah ayunan
beralun-alun berputar-putar
siapa yang naik dalam ayunan
selamat iman dalam dada

Syair-syair itu dibacakan malam-malam oleh para ulama kepada pemuda-pemudi, sebelum besok pagi bersiap-siap menyerang Belanda di markas-markas pertahanan mereka di kota seperti Kutaraja, Pidie, Singkel, dsb. Sering syair tersebut dilagukan sambil maragakan tari "Seudati" yang kian menambah semangat mereka untuk bertempur menjemput kemenangan. Para pemuda yang dipimpin para ulama sangat yakin bahwa surga ada di sisi Allah sebagai imbalan jerih payah mereka mengadakan perlawanan sengit (baca: berjihad) melawan kezaliman Belanda.

Bila banyak penulis Belanda dalam banyak bukunya (terkecuali H. C. Zentgraaff) menggambarkan orang Aceh itu sejenis binatang buas, tak beradab, tak memiliki sopan santun, para ulama Aceh juga menyebarkan persepsi yang juga sama terhadap penjajah yang dianggap sebagai anjing, sekelompok manusia kelas rendah, atau hewan buruan yang layak ditombak dan disantap dagingnya ramai-ramai. Suatu paradoks dalam perjuangan antara dua pihak, penjajah dan bangsa yang berjuang tak mau dijajah. Untuk ucapan para ulama terhadap kaphee Belanda yang dianggap anjing, dikukuhkan oleh ungkapan seorang ulama muda, Teungku Abdul Jalil (32 tahun), yang berasal dari Aceh Utara di tahun 1942 di mana Jepang baru saja masuk ke Aceh yang lebih hina lagi martabatnya dibanding Belanda: Tale Ase, jitamong bui/ (Kita usir anjing, yang masuk babi) Lihat Nourouzzaman As-Shidqi, dalam Muin Umar, Dua Dimensi, Yogyakarta, 1985. Anjing adalah simbol bagi penjajah Belanda, sedangkan kedatangan Jepang yang masuk ke Aceh disimbolkan sebagai babi. Berikut lanjutan Hikayat Perang Sabil dari Cik Pante Kulu:

Jak kutatak ayak kudangdi
ie mon hayati ie krueng kaukousa
nyang teumeng jieb ie man hayati
nyang prang sabi asoe seuruga
tulong Allah majizat Nabi
nyang cang kaphe asoe seuruga

yang artinya

mari kutatak ayak kudang di
air perigi hayati serupa sungai kausar
yang dapat minum air perigi untuk hidup
hanya yang berperang sabil
tolong ya Allah mukjizat Nabi
yang bukan kafir, pasti isi surga

Tak terbayang, bagaimana hebatnya daya juang rakyat Vietnam saat melawan Yankewe (Amerika) di tahun 1960-1975-an. Begitu juga kita membayangkan kenberanian pemuda-pemudi Palestina yang mengantongi bom dalam ranselnya, lalu meledakkan diri di tengah komunitas Yahudi Israel yang sudah setengah abad menjajah bangsa Palestina. Agaknya gambaran seperti itu tak melebihi apa yang diperankan pemuda-pemudi Aceh melawan Belanda dari 1873 sampai masuknya Jepang ke tanah Aceh 1942. Dalam hal ini, Cik Pantekulu mengingatkan pemuda-pemudi Aceh bahwa jangan lagi ingat kenikmatan dunia, demi surga di sisi-Nya,

Bungong kayee le putik han jimat
alamat kilat ujeuen keuneung sa
nuntulong lon he malaikat
tak le teu ingat ke nekmat donya


Tentara Bentukan Kolonial Belanda DiIndonesia

Posted On 9:04 PM by History Of Aceh 0 comments

Untuk mendukung kekuasaannya di Indonesia, selain mendatangkan balatentaranya sendiri, Belanda juga membentuk berbagai pasukan di Indonesia yang prajuritnya berasal dari penduduk setempat atau pribumi, tujuannya adalah untuk lebih mengenali karakter rakyat Indonesia selain tentu untuk mengadudomba, agar persatuan dan kesatuan rakyat Indonesia terpecah belah.

Berbagai Pasukan tersebut diantaranya adalah :



Mardijkers, Sejak zaman VOC, keturunan dari mereka yang telah bebas dari perbudakan, atau yang dapat membeli kemerdekaannya, dan kemudian bersedia menjadi serdadu “Kumpeni”, dinamakan Mardijkers. Mereka kebanyakan keturunan serdadu-serdadu pribumi yang ditawan oleh Spanyol dan Portugis, ketika Belanda perang melawan kedua negara tersebut. Setelah dibebaskan, mereka bertugas kembali di ketentaraan VOC, dan secara tradisional, keturunan merekapun menjadi serdadu “kumpeni.” Kemudian masuk juga mantan budak-budak yang berasal dari India dan Afrika, yang becampur dengan budak-budak yang berasal dari Sulawesi, Bali dan Melayu. Hampir seluruhnya menganut agama kristen. Mereka berpakaian seperti orang Portugis dan menggunakan bahasa Portugis-Kreol. Sampai abad 18 orang-orang Mardijkers tinggal di kampung-kampung di Batavia.Tahun 1777 masih terdapat 6 kompi Mardijkers (sekitar 1.200 orang) di dinas ketentaraan VOC yang bertugas menjaga perumahan Belanda di dalam kota. Tahun 1803 masih trsisa satu kompi, dan kompi terakhir dibubarkan tahun 1808.Ketika masih berlangsung perbudakan di India-Belanda di mana diberlakukan passenstelsel (semacam kartu tanda penduduk-KTP), di tempat-tempat di mana diminta untuk menunjukkan KTP, mereka biasanya mengangkat satu tangan ke atas sambil mengatakan “mardijkers”, yang lama kelamaan diartikan sebagai “merdeka”!

Marechaussée, Marechaussée sendiri sebenarnya merupakan unit pasukan kepolisian, yang berakar pada masa penjajahan Prancis di Belanda. Berdasarkan dekrit Republik Bataaf yang didirikan oleh Prancis, pada 4 Februari 1803 dibentuk unit kepolisian yang dinamakan Marechaussée, namun tidak langsung dilaksanakan. Pada 1805 dibentuk satu unit Gendarmerie (semacam Brigade Mobil - Brimob), dan baru pada 26 Oktober 1814, setelah Republik Bataaf diganti dengan Kerajaan Belanda (wangsa Oranye), berdasarkan dekrit no. 498 yang dikeluarkan oleh Raja Belanda, Willem I, secara definitif dibentuk Koninklijke Marechaussée.Kata Marechaussée sendiri mempunyai akar yang sangat panjang, yaitu sejak masa pengadilan kuno di Paris tahun 1370 yang dinamakan “Tribunal of Constables and Marshals of France”. Constable dan Marshall ini kemudian menjadi anggota Gendarmerie, yang merupakan kekuatan kepolisian untuk Belanda dan Belgia.Marechaussée yang dikenal di Indonesia sebagai Marsose berkembang menjadi kekuatan tempur untuk mengamankan wilayah dan jalanan di Kerajaan Belanda. Selain tugas-tugas kepolisian, Marechaussée juga ditugaskan untuk membantu angkatan perang, terutama di waktu Perang Dunia I, tahun 1914 - 1918. Di masa ini juga Marechaussée ditigaskan di India-Belanda, antara lain dalam perang Aceh dan perang melawan Si Singamangaraja XII di Sumatera Utara, di mana kemudian pada tahun 1917, satuan Marechaussée berhasil mengalahkan dan menewaskan Si Singamangaraja XII.

Tentara Bayaran, Belanda yang kecil dengan penduduknya yang juga relatif sedikit, tentu tidak dapat membangun tentara yang besar, yang hanya terdiri dari orang Belanda dan pribumi saja. Mereka juga memerlukan perwira yang handal untuk memimpin pertempuran, yang tidak dapat diharapkan dari pribumi pada waktu itu. Untuk membangun tentara yang tangguh di India-Belanda, di samping merekrut pribumi untuk menjadi serdadu –dan paling tinggi bintara- mereka juga menyewa perwira dan serdadu dari negara-negara Eropa lain, terutama dari Jerman. Belanda bahkan tidak tanggung-tanggung, yaitu mengontrak satu resimen dari Jerman. Tahun 1790-1808 terdapat Regiment Württemberg yang terdiri dari orang-orang Jerman asal Württemberg yang berjumlah 2000 (!) tentara. Semula mereka mengabdi pada VOC, kemudian setelah VOC dibubarkan, mereka berada di bawah Pemerintah India-Belanda. Regiment Württemberg ini dibubarkan pada tahun 1808. Banyak dari mantan serdadu dan perwira Jerman yang kemudian tinggal dan berkeluarga di Indonesia. Hal ini yang menerangkan bahwa di Indonesia sejak beberapa generasi ada keluarga Indonesia yang mempunyai nama keluarga Jerman.

4. KNIL (Koninklijk Nederlands-Indisch Leger)


Dan yang paling terkenal adalah KNIL, ketika berlangsung Perang Diponegoro (1825 – 1830), tahun 1826/1827 pemerintah India Belanda membentuk satu pasukan khusus. Setelah Perang Diponegoro usai, pada 4 Desember 1830 Gubernur Jenderal van den Bosch mengeluarkan keputusan yang dinamakan "Algemeene Orders voor het Nederlandsch-Oost-Indische leger" di mana ditetapkan pembentukan suatu organisasi ketentaraan yang baru untuk India-Belanda, yaitu Oost-Indische Leger (Tentara India Timur) dan pada tahun 1836, atas saran dari Willem I, tentara ini mendapat predikat “Koninklijk.” Namun dalam penggunaan sehari-hari, kata ini tidak pernah digunakan selama sekitar satu abad, dan baru tahun 1933, ketika Hendrik Colijn –yang juga pernah bertugas sebagai perwira di Oost-Indische Leger- menjadi Perdana Menteri, secara resmi tentara di India-Belanda dinamakan Koninklijk Nederlands-Indisch Leger, disingkat KNIL.

Undang-Undang Belanda tidak mengizinkan para wajib militer untuk ditempatkan di wilayah jajahan, sehingga tentara di India Belanda hanya terdiri dari prajurit bayaran atau sewaan. Kebanyakan mereka berasal dari Prancis, Jerman, Belgia dan Swiss. Tidak sedikit dari mereka yang adalah desertir dari pasukan-pasukannya untuk menghindari hukuman. Namun juga tentara Belanda yang melanggar peraturan di Belanda diberikan pilihan, menjalani hukuman penjara atau bertugas di India Belanda. Mereka mendapat gaji bulanan yang besar. Tahun 1870 misalnya, seorang serdadu menerima f 300,-, atau setara dengan penghasilan seorang buruh selama satu tahun.

Dari catatan tahun 1830, terlihat perbandingan jumlah perwira, bintara serta prajurit antara bangsa Eropa dan pribumi dalam dinas ketentaraan Belanda. Di tingkat perwira, jumlah pribumi hanya sekitar 5% dari seluruh perwira; sedangkan di tingkat bintara dan prajurit, jumlah orang pribumi lebih banyak daripada jumlah bintara dan prajurit orang Eropa, yaitu sekitar 60%. Kekuatan tentara Belanda tahun 1830, setelah selesai Perang Diponegoro adalah:

603 perwira bangsa Eropa
37 perwira pribumi
5. 699 bintara dan prajurit bangsa Eropa
7.206 bintara dan prajurit pribumi.

Tahun 1936, jumlah pribumi yang menjadi serdadu KNIL mencapai 33 ribu orang, atau sekitar 71% dari keseluruhan tentara KNIL, di antaranya terdapat sekitar 4.000 orang Ambon, 5.000 orang Manado dan 13.000 orang Jawa.

Apabila meneliti jumlah perwira, bintara serta prajurit yang murni orang Belanda terlihat, bahwa sebenarnya jumlah mereka sangat kecil. Juga stigmatisasi bahwa orang Ambon adalah tumpuan Belanda dalam dinas ketentaraan adalah tidak benar, karena ternyata jumlah orang Ambon yang menjadi serdadu Belanda jauh lebih kecil dibandingkan dengan jumlah orang Jawa. Juga pribumi yang mencapai pangkat tertinggi di KNIL bukanlah orang Ambon, melainkan Kolonel KNIL R. Abdulkadir Wijoyoatmojo, yang tahun 1947 memimpin delegasi Belanda dalam perundingan di atas kapal perang AS Renville, yang membuahkan Persetujuan Renville.

5. Belanda Hitam (zwarte Nederlander)

Tahun 1950, setelah penyerahan kedaulatan dari Belanda kepada Republik Indonesia Serikat, jumlah orang Indonesia yang masih menjadi serdadu KNIL diperkirakan sekitar 60.000 (!) orang, dan sebagian besar dari mereka diterima ke dalam tubuh Tentara nasional Indonesia (TNI). Jumlah orang Ambon diperkirakan sekitar 5.000 orang, yang sebagian besar ikut dibawa ke Belanda dan tinggal di sana sampai sekarang.

Dengan merekrut tentara yang berasal dari pribumi serta politik divide et impera-nya, menjadi tulangpunggung yang memungkinkan Belanda menang dalam banyak pertempuran melawan kerajaan-kerajaan di India-Belanda, dan di beberapa daerah –seperti di Jakarta- mereka dapat berkuasa selama sekitar 300 tahun.

Hal tersebut terjadi karena juga ditunjang oleh keserakahan dan egoisme para raja dan sultan serta pribumi lain yang bersedia bekerjasama dengan penjajah.



Turki bantu Aceh lawan Portugal

Posted On 8:58 PM by History Of Aceh 0 comments

ISTANBUL, Turki pernah dikenali sebagai ‘Islambul’ yang bermaksud Kota Islam yang dibelah dua oleh Selat Bosphorus, memisahkan benua Asia dari Eropah.

Menara masjid yang kelihatan di mana saja di kota itu menggambarkan pengaruh Islam yang kuat sepanjang 471 tahun era Uthmaniyah di Istanbul.

Sejak 1453 hingga 1924 iaitu dari detik Muhammad Al-Fateh membuka kota Constantinople hingga ke saat Mustafa Kamal Atarturk mengisytiharkan berakhirnya institusi Khalifah Uthmaniyah di Turki, 1001 peristiwa tercatat di lembaran sejarah Islam.



Keagungan Sultan Sulaiman Al-Qanuni, pembina empayar Uthmaniyah yang mewariskan kemegahan Islam melalui perluasan jajahan takluk dan penyebaran agama Islam, masih disebut hingga hari ini.

Mungkin kejayaan itulah yang menjadi inspirasi kepada Sultan Aceh, Sultan Alauddin Riayat Syah Al-Qahhar, hingga merangsang beliau menghantar wakil diplomatik ke Istanbul.

Rombongan Aceh tiba di Istanbul dengan kapal bermuatan lada, komoditi paling berharga zaman itu ditugaskan Sultan Alauddin mempersembahkan lada yang dibawa kepada Sultan Sulaiman.

Lada yang dibawa itu juga menjadi sumber perbelanjaan selama rombongan itu di Istanbul menanti dibenarkan menghadap Sultan Sulaiman yang sedang memimpin tenteranya di Hungary.

Akhirnya, Sultan Sulaiman mangkat pada 1566 dan jasadnya dibawa pulang untuk dimakamkan di Masjid Sulaimaniye, Edirne.

Cubaan rombongan Aceh untuk menghadap khalifah yang baru juga tidak pernah berjaya, sedangkan mereka sudah terlalu lama di Turki dan bekalan lada yang dibawa semakin hari semakin susut dijual di pasar.

Suatu hari khalifah melawat pasar dan kesempatan keemasan itu dimanfaatkan utusan Aceh untuk menyampaikan salam sultan mereka serta mempersembahkan hadiah kepada khalifah iaitu secupak lada, baki terakhir bekalan mereka.

Ancaman Portugis di Nusantara turut diceritakan kepada sultan, maka baginda mengerahkan armadanya bersama meriam Turki, tukang mahir membuat meriam dan senjata api pulang bersama rombongan Aceh.

Sempena peristiwa bersejarah itu, meriam Turki yang dihantar ke Aceh.

Pelabuhan Melaka bersejarah adalah kota rebutan di Selat Melaka yang menyaksikan kehadiran tiga kuasa Eropah sejak 1511 berpunca daripada perdagangan rempah yang dikuasai pedagang Islam yang berulang alik antara dunia timur dan barat.

Sebelum berdirinya kesultanan Melayu Melaka, di Samudera Pasai sudah terbina sebuah kesultanan Islam menguasai perdagangan lada yang sultannya bersambung nasab dengan Rasulullah SAW.

Samudera Pasai yang terkenal kerana sultannya menghormati ulama dan menyokong usaha penyebaran Islam menjadi tumpuan persinggahan pedagang Islam dari India, Parsi dan Yaman.

Sultan Melaka memeluk Islam dan menjadi menantu Sultan Pasai 97 tahun sebelum pencerobohan Portugis ke atas Melaka dan sejak itu ulama Pasai sering mengunjungi istana Melaka bagi membimbing sultannya.

Pada masa sama, pelabuhan Melaka semakin sibuk dikunjungi pedagang Islam selama lebih sembilan dekad berikutnya, sebelum armada Portugis tiba bersama meriam yang menghancurkan pertahanan Kota Melaka.

Senjata api dan teknik pertempuran Eropah mengatasi senjata tradisional perajurit Melaka, tetapi apabila peperangan menentang Portugis diisytihar sebagai jihad oleh ulama ketika itu, Melaka dipertahan habis-habisan.

Berikutan kejayaan delegasi Aceh ke Istanbul, dengan sokongan armada Turki, Sultan Alauddin melancarkan dua serangan ke atas Portugis di Melaka pada 1568 dan 1570.

Sekalipun tidak berjaya mengusir penjajah dari Melaka, kesultanan Aceh memberi isyarat jelas kepada Portugis bahawa Aceh bukan negara belasahan dan kerajaan Islam itu turut mempunyai sekutu disegani di Eropah.

beginilah hubungan antara negara aceh dengan istanbul...... makanya kita liat bendera negara aceh sama persis dengan bendera negara turki seperti bendera GAM sekarang......? gimana menurut rekan rekan sekalian....





Dibalik Cerita Masjid Baiturrahman, Saksi Sejarah Aceh

Posted On 8:56 PM by History Of Aceh 0 comments

Masjid Baiturrahman telah menjadi simbol Nangroe Aceh Darussalam. Menelusuri sejarah masjid yang berada di jantung kota Banda Aceh ini, ibarat melihat perjalanan bumi Serambi Mekah. Mulai masa kesultanan, penjajahan Belanda dan masa bersama Indonesia lengkap dengan pemberontakannya. Mulai Daerah Operasi Militer, perjanjian damai hingga tsunami. Rumah ibadah ini menyaksikan semuanya.
Kita simak laporan KBR68H yang disampaikan Vivi Zabkie saat mengujungi masjid itu beberapa waktu.
Mengikuti sejarah Aceh

Panas terik kota Banda Aceh serasa langsung enyah begitu kaki menginjak halaman masjid Baiturrahman. Udara dalam masjid berkubah lima ini sejuk. Lima pintu dan jendela yang lebar, kubah tinggi serta ruang dalam masjid yang luas membuat udara bergerak bebas. Januari lalu, rumah ibadah ini baru saja tuntas berbenah dari kerusakan akibat tsunami. Sisa-sisa bencana itu tak terlihat lagi.




Tapi sejarah mencatat, sekali lagi Baiturrahman melewati satu babak sejarah masyarakat Aceh. Masjid ini merupakan simbol Aceh. Perjalanan masjid ini juga merekam sejarah Aceh. Karena itu tak lengkap rasanya bila berkunjung ke Aceh, tanpa menengok masjid berkubah lima ini dan sedikit mengenal sejarahnya.


Masjid ini sudah berada di tengah kota Banda Aceh sejak zaman kesultanan. Ada dua versi hikayat pendiriannya. Ada yang menyebut Sultan Alauddin Johan Mahmud Syah membangun masjid ini pada abad ke 13. Namun versi lain menyatakan Baiturahman didirikan pada abad 17, pada masa kejayaan pemerintahan Sultan Iskandar Muda. Tak ada yang bisa memastikan mana yang benar. Tapi nama Baiturahman, menurut catatan sejarah, diberikan oleh Sultan Iskandar Muda. Pada masa itu masjid ini menjadi salah satu pusat pengembangan ajaran Islam wilayah kerajaan Aceh.

Perubahan fisik masjid menurut salah satu ketua koordinator masjid Baiturrahman Sanusi Hanafi, mengikuti sejarah bumi serambi mekah. Bangunan sekarang bukan lagi bangunan zaman kesultanan. Pada masa kesultanan, gaya arsitektur Baiturahman mirip masjid-masjid tua di Pulau Jawa. Bangunan kayu dengan atap segi empat dan bertingkat.
Sanudi Hanafi: “Kubahnya satu. Pada 1873, ini dibakar oleh Belanda. Mengapa dibakar, karena masjid dijadikan pusat kekuatan tentara Aceh melawan Belanda. Dan pada tahun 1873 itu terjadi pertempuran besar antara tentara Aceh dengan tentara Belanda. Terjadi tembak menembak. Sehingga demikian gugurlah perwira tinggi Belanda bernama Kohler”

Pertempuran di masjid ini dikenang lewat pembangunan prasasti Kohler pada halaman masjid. Letak prasasti di bawah pohon Geulempang, yang tumbuh di dekat salah satu gerbang masjid.
Sanudi Hanafi: “Dibakar ini tambah marahlah rakyat Aceh dan tentara Aceh. Kemudian menuntut dibikin baru. Maka dibikin barulah empat tahun kemudian, mesjid yang baru satu kubah, kemudian konstruksinya dari beton”

Dirancang arsitek Belanda
Peletakan batu pertama pembangunan kembali masjid dilakukan tahun 1879 oleh Tengku Malikul Adil, disaksikan oleh Gubernur Militer Hindia Belanda di Aceh saat itu, G. J. van der Heijden. Pembangunan mesjid ini dirancang arsitek Belanda keturunan Italia, De Brun. Bahan bangunan masjid sebagian didatangkan dari Penang - Malaysia, batu marmer dari Negeri Belanda, batu pualam untuk tangga dan lantai dari Cina, besi untuk jendela dari Belgia, kayu dari Birma dan tiang-tiang mesjid dari Surabaya.
Pembangunan kembali masjid dengan satu kubah, selesai dua tahun kemudian. Pada masa residen Y. Jongejans berkuasa di Aceh masjid ini kembali diperluas.
Sanudi Hanafi: “Kemudian setelah itu, masyarakat Aceh semakin besar, untuk mengupahi dan meredakan kemarahan rakyat Aceh maka masjid diperluas lagi kiri kanannya pada tiga tahun kemudian. Ditambahlah dua kubah lagi di atasnya sehingga menjadi tiga kubah” Belanda kemudian meninggalkan Aceh. Bumi Nangroe beralih pada Indonesia.
Berubah lagi
Pada 1957, masa pemerintahan Soekarno, masjid ini kembali berubah. Dua kubah baru dibuat di bagian belakang. Dibangun pula dua menara dengan jumlah tiang mencapai 280 buah. Karena perluasan ini, menurut koordinator pengurus masjid Sanusi Hanafi, sejumlah toko di pasar Aceh yang berada di sekeliling mesjid tergusur.
Kembali koordinator pengurus masjid Baiturrahman Sanusi Hanafi. : “Diletakkanlah batu pertamanya oleh menteri agama KH Ilyas, kemudian dibangun kira-kira empat tahun. Bangunan berikutnya itu sudah sampai pada menara yang berikut ini. Tapi kerjasamanya dengan pemerintah Aceh. Waktu itu Gubernurnya Ali Hasymi. Kemudian pada tahun 80, bagian dalam masjid, 80-82, dalam rangka MTQ nasional di perbaiki, direnovasi bagian dalamnya diberi ornamen-ornamennya. Dan di depan itu diberi plaza ”
Renovasi masjid yang dilakukan pemerintah Soekarno terjadi pada masa gerakan Darul Islam pimpinan Daud Beureueh. Sehingga banyak kalangan yang mengaitkan pembangunan itu sebagai usaha pemerintah meredam pemberontakan itu. Lima kubah juga dianggap mewakili Pancasila yang digagas Soekarno.
Pada kurun 1992-1995, masjid kembali dipugar dan diperluas hingga memiliki tujuh buah kubah dan lima menara. Setelah dipugar, masjid itu mampu menampung 10.000 hingga 13.000 jemaah. Halaman masjid juga diperluas hingga menjadi 3,3 hektar.
Mempertahankan arsitektur asli
Semua pemugaran ini, menurut pengurus masjid Sofyan Hasyim dilakukan dengan mempertahankan arsitektur dan bentuk ornamen lama pada masa Belanda. Salah satu tiang peninggalan Belanda, ketika masjid masih berkubah satu, masih dipertahankan. Arsitektur masjid ini bercorak eklektik, yaitu gabungan berbagai unsur dan model terbaik dari berbagai negeri.
Ini misalnya tampak pada tiga pintu bukaan serta jendela yang bisa berfungsi sebagai pintu masuk. Jendela ini dibentuk oleh empat tiang langsing silindris model arsitektur Moorish, yang banyak terdapat di masjid-masjid Afrika Utara dan Spanyol. Sementara bagian tengah ruang shalat berbentuk bujur sangkar, diatapi kubah utama yang bercorak bawang. Pucuknya dihiasi kubah, mirip masjid-masjid kuno di India.
Pada jendela yang sekaligus menjadi pintu terdapat ukiran yang tampak kokoh dan indah. Untuk menambah kemegahan dan keindahan, masjid ini ditempatkan di tengah lapangan terbuka, sehingga semua bagian masjid jelas terlihat juga dari kejauhan.
Saksi bencana tsunami
Masjid Baiturrahman menjadi saksi darurat militer di Aceh, ketika muncul Gerakan Aceh Merdeka. Masjid ini menjadi tempat warga Aceh mengadu kepada Tuhan atas tanggungan beban konflik. Rumah ibadah ini juga menjadi sarana singgah pejabat pusat mengunjugi Aceh yang ketika itu tak aman.
Baiturrahman yang konon merupakan salah satu masjid terindah Asia Tenggara ini juga menjadi saksi bisu bencana tsunami. Bencana memilukan itu juga merusak sejumlah bagian masjid. Sebuah video tentang kedahsyatan tsunami menunjukkan ratusan orang naik ke masjid Baiturrahman. Mereka menyelamatkan diri sembari meneriakkan nama Tuhan. Allahuakbar, Allahuakbar.
Banyak warga Aceh selamat dari bencana berkat masjid ini. Ketua koordinator III Masjid Baiturrahman Sanusi Hanafi : “Mereka tidak tahu lari ke mana, mereka larilah ke mesjid. Sehingga penuhlah masjid. Mereka yang lari ke mesjid alhamdulillah selamat. Kecuali yang tidak sampai. Ada yang di jalan, ada yang di pasar itu banyak yang jadi mayat. Masjid ini selama tiga empat hari penuh dengan orang-orang yang mencari keselamatan. Termasuk di tempat kita ini, dulu ini pakai karpet, karpetnya penuh dengan darah, kotor. Orang masuk ke masjid dengan ketakutan dan tak tahu lagi membasuh kaki, tidur di sini”
Sedikit retak
Pada halaman masjid inilah berdiri posko bencana pertama pasca tsunami Desember 2004 tersebut. Masjid ini tangguh bertahan dari gempa dan terjangan air laut yang naik ke daratan. Hanya sedikit bangunan yang retak akibat gempa.
Sanudi Hanafi: “Kemudian masjid secara struktural tidak mengalami kerusakan, tetapi kalau diteliti lebih lanjut, akibat gempa, bukan akibat tsunami itu terjadi keretakan-keretakan pada dak, sehingga kalau hujan besar terjadi kebocoran”
Kerusakan juga terjadi di ruang perpustakaan. Ribuan buku koleksi perpustakaan hampir sebagian besar hanyut atau terendam lumpur. Beberapa buku yang hanyut ke halaman belakang masjid, sempat diselamatkan. Gempa juga mengakibatkan pondasi mesjid turun pada beberapa tempat. Namun tidak begitu terlihat.
Kerusakan parah hanya terjadi pada menara di halaman masjid, yang dikenal dengan sebutan tugu modal. Tugu modal merupakan sebuah monument yang menunjukkan Aceh pernah dinyatakan sebagai daerah modal dalam perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia.
Saksi perdamaian
Pasca tsunami perdamaian datang. Masjid ini kembali menjadi bagian sejarah itu. Di masjid inilah warga menggelar doa khusus ketika delegasi Indonesia bertemu dengan wakil Gerakan Aceh Merdeka di Helsinki, Finlandia.
Masjid ini pula yang menjadi saksi ketika pasca perjanjian damai, Aceh menggelar pemilihan kepala daerah secara langsung. Uji membaca Al Quran bagi para calon Gubernur digelar di masjid ini.
Pasca tsunami, kerusakan-kerusakan Masjid Baiturrahman diperbaiki. Sebagian dilakukan lewat sumbangan masyarakat tak lama setelah bencana. Perbaikan besar-besaran dilakukan lewat sumbangan lembaga donor, di antaranya Saudi Charity Campaign. Pengurus The Saudi Charity Campaign, Imo Wibowo.
Imo Wibowo: “Membuat fasilitas umum seperti tempat wudhu di sisi utara, bangunan barum penataan lansekap di sekitar bangunan, kolam, dan kolam itu juga sebagai monumen”
Semua itu menghabiskan dana Rp. 20 milyar. Pada 15 Januari lalu proses perbaikan dinyatakan resmi selesai. Kini masjid Baiturahman seolah habis bersolek, tampil cantik menawan.
Masjid Baiturrahman menyaksikan perubahan Aceh pasca tsunami dan perjanjian damai. Ketika syariah Islam berlaku di Serambi Mekah, kawasan masjid Baiturahman dinyatakan sebagai area terbatas. Hanya pengunjung yang menutup aurat sesuai hukum syariah boleh masuk halaman masjid. Namun dengan daya tarik dan keindahannya, pengunjung biasanya rela mematuhinya asal bisa melihat magnet Aceh ini dari dekat




HASAN DI TIRO MENDEKLARASIKAN NEGARA ACEH SUMATERA 4 DESEMBER 1976

Posted On 8:51 PM by History Of Aceh 0 comments

14 tahun kemudian setelah Daud Beureue menyerah kepada Penguasa Daulah Pancasila, Hasan Muhammad di Tiro pada tanggal 4 Desember 1976 mendeklarasikan kemerdekaan Aceh Sumatra. Dimana bunyi deklarasi kemerdekaan Negara Aceh Sumatra yang saya kutif dari buku "The Price of Freedom: the unfinished diary of Tengku Hasan di Tiro" (National Liberation Front of Acheh Sumatra,1984) yang menyangkut " Declaration of Independence of Acheh Sumatra" (hal: 15-17) adalah,



"To the people of the world: We, the people of Acheh, Sumatra, exercising our right of self-determination, and protecting our historic right of eminent domain to our fatherland, do hereby declare ourselves free and independent from all political control of the foreign regime of Jakarta and the alien people of the island of Java....In the name of sovereign people of Acheh, Sumatra. Tengku Hasan Muhammad di Tiro. Chairman, National Liberation Front of Acheh Sumatra and Head of State Acheh, Sumatra, December 4, 1976". ("Kepada rakyat di seluruh dunia: Kami, rakyat Aceh, Sumatra melaksanakan hak menentukan nasib sendiri, dan melindungi hak sejarah istimewa nenek moyang negara kami, dengan ini mendeklarasikan bebas dan berdiri sendiri dari semua kontrol politik pemerintah asing Jakarta dan dari orang asing Jawa....Atas nama rakyat Aceh, Sumatra yang berdaulat. Tengku Hasan Muhammad di Tiro. Ketua National Liberation Front of Acheh Sumatra dan Presiden Aceh Sumatra, 4 Desember 1976") (The Price of Freedom: the unfinished diary of Tengku Hasan di Tiro, National Liberation Front of Acheh Sumatra,1984, hal : 15, 17).


DESEMBER 1962 DAUD BEUREUEH MENYERAH KEPADA PENGUASA DAULAH PANCASILA

Posted On 8:50 PM by History Of Aceh 0 comments


Bulan Desember 1962, 7 bulan setelah Sekarmadji Maridjan Kartosuwirjo Imam NII tertangkap (4 Juni 1962) di atas Gunung Geber di daerah Majalaya oleh kesatuan-kesatuan Siliwangi dalam rangka Operasi Bratayudha, Daud Beureueh di Aceh menyerah kepada Penguasa Daulah Pancasila setelah dilakukan "Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh" atas prakarsa Panglima Kodam I/Iskandar Muda, Kolonel M.Jasin. (30 Tahun Indonesia Merdeka, 1950-1964, Sekretariat Negara RI, 1986)


MAKLUMAT NII ACEH OLEH DAUD BEUREUEH

Posted On 8:49 PM by History Of Aceh 0 comments

3 tahun setelah RIS bubar dan kembali menjadi RI, Daud Beureueh di Aceh memaklumatkan Negara Islam Indonesia di bawah Imam SM Kartosoewirjo pada tanggal 20 September 1953.
Isi Maklumat NII di Aceh adalah,
Dengan Lahirnja Peroklamasi Negara Islam Indonesia di Atjeh dan daerah sekitarnja, maka lenjaplah kekuasaan Pantja Sila di Atjeh dan daerah sekitarnja, digantikan oleh pemerintah dari Negara Islam.
Dari itu dipermaklumkan kepada seluruh Rakjat, bangsa asing, pemeluk bermatjam2 Agama, pegawai negeri, saudagar dan sebagainja.



1. Djangan menghalang2i gerakan Tentara Islam Indonesia, tetapi hendaklah memberi bantuan dan bekerdja sama untuk menegakkan keamanan dan kesedjahteraan Negara.
2. Pegawai2 Negeri hendaklah bekerdja terus seperti biasa, bekerdjalah dengan sungguh2 supaja roda pemerintahan terus berdjalan lantjar.
3. Para saudagar haruslah membuka toko, laksanakanlah pekerdjaan itu seperti biasa, Pemerintah Islam mendjamin keamanan tuan2.
4. Rakjat seluruhnja djangan mengadakan Sabotage, merusakkan harta vitaal, mentjulik, merampok, menjiarkan kabar bohong, inviltratie propakasi dan sebagainja jang dapat mengganggu keselamatan Negara.
Siapa sadja jang melakukan kedjahatan2 tsb akan dihukum dengan hukuman Militer.
5. Kepada tuan2 bangsa Asing hendaklah tenang dan tentram, laksanakanlah kewadjiban tuan2 seperti biasa keamanan dan keselamatan tuan2 didjamin.
6. Kepada tuan2 yang beragama selain Islam djangan ragu2 dan sjak wasangka, jakinlah bahwa Pemerintah N.I.I. mendjamin keselamatan tuan2 dan agama jang tuan peluk, karena Islam memerintahkan untuk melindungi tiap2 Umat dan agamanja seperti melindungi Umat dan Islam sendiri. Achirnja kami serukan kepada seluruh lapisan masjarakat agar tenteram dan tenang serta laksanakanlah kewadjiban masing2 seperti biasa.
Negara Islam Indonesia
Gubernur Sipil/Militer Atjeh dan Daerah sekitarnja.
MUHARRAM 1373
Atjeh Darussalam
September 1953


KEMBALI KE NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA

Posted On 8:44 PM by History Of Aceh 0 comments

Tanggal 8 Maret 1950 Pemerintah RIS dengan persetujuan Parlemen (DPR) dan Senat RIS mengeluarkan Undang-Undang Darurat No 11 tahun 1950 tentang Tata Cara Perubahan Susunan Kenegaraan RIS. Berdasarkan Undang-Undang Darurat itu, beberapa negara bagian menggabungkan ke RI, sehingga pada tanggal 5 April 1950 yang tinggal hanya tiga negara bagian yaitu, RI, NST (Negara Sumatera Timur), dan NIT (Negara Indonesia Timur).

Pada tanggal 14 Agustus 1950 Parlemen dan Senat RIS mengesahkan Rancangan Undang-Undang Dasar Sementara Negara Kesatuan Republik Indonesia hasil panitia bersama.
Pada rapat gabungan Parlemen dan Senat RIS pada tanggal 15 Agustus 1950, Presiden RIS Soekarno membacakan piagam terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pada hari itu juga Presiden Soekarno kembali ke Yogya untuk menerima kembali jabatan Presiden RI dari Pemangku Sementara Jabatan Presiden RI Mr. Asaat. (30 Tahun Indonesia Merdeka, 1950-1964, Sekretariat Negara RI, 1986)


PENGAKUAN BELANDA KEPADA KEDAULATAN RIS TANPA ACEH

Posted On 8:43 PM by History Of Aceh 0 comments


Belanda dibawah Ratu Juliana, Perdana Menteri Dr. Willem Drees, Menteri Seberang Lautnan Mr AMJA Sassen dan ketua Delegasi RIS Moh Hatta membubuhkan tandatangannya pada naskah pengakuan kedaulatan RIS oleh Belanda dalam upacara pengakuan kedaulatan RIS pada tanggal 27 Desember 1949. Pada tanggal yang sama, di Yogyakarta dilakukan penyerahan kedaulatan RI kepada RIS. Sedangkan di Jakarta pada hari yang sama, Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Wakil Tinggi Mahkota AHJ Lovink dalam suatu upacara bersama-sama membubuhkan tandangannya pada naskah penyerahan kedaulatan. (30 Tahun Indonesia Merdeka, 1945-1949, Sekretariat Negara RI, 1986)


ACEH TIDAK TERMASUK ANGGOTA NEGARA-NEGARA BAGIAN RIS

Posted On 8:43 PM by History Of Aceh 0 comments

41 tahun kemudian semenjak selesainya perang Aceh, Indonesia diproklamasikan oleh Soekarno pada tanggal 17 Agustus 1945. Ternyata perjuangan untuk bebas dari cengkraman Belanda belum selesai, sebelum Van Mook menciptakan negara-negara bonekanya yang tergabung dalam RIS (Republik Indonesia Serikat).
Dimana ternyata Aceh tidak termasuk negara bagian dari federal hasil ciptaan Van Mook yang meliputi seluruh Indonesia yaitu yang terdiri dari,



1. Negara RI, yang meliputi daerah status quo berdasarkan perjanjian Renville.
2. Negara Indonesia Timur.
3. Negara Pasundan, termasuk Distrik Federal Jakarta
4. Negara Jawa Timur
5. Negara Madura
6. Negara Sumatra Timur, termasuk daerah status quo Asahan Selatan dan Labuhan Batu
7. Negara Sumatra Selatan
8. Satuan-satuan kenegaraan yang tegak sendiri, seperti Jawa Tengah, Bangka-Belitung, Riau, Daerah Istimewa Kalimantan Barat, Dayak Besar, Daerah Banjar, Kalimantan Tenggara dan Kalimantan Timur.
9. Daerah.daerah Indonesia selebihnya yang bukan daerah-daerah bagian.
Yang terpilih menjadi Presiden RIS adalah Soekarno dalam sidang Dewan Pemilihan Presiden RIS pada tanggal 15-16 Desember 1949. Pada tanggal 17 Desember 1949 Presiden Soekarno dilantik menjadi Presiden RIS. Sedang untuk jabatan Perdana Menteri diangkat Mohammad Hatta. Kabinet dan Perdana Menteri RIS dilantik pada
tanggal 20 Desember 1949.


SURAT PERJANJIAN PENDEK TANDA MENYERAH CIPTAAN VAN HEUTZ

Posted On 8:42 PM by History Of Aceh 0 comments


Van Heutz telah menciptakan surat pendek penyerahan yang harus ditandatangani oleh para pemimpin Aceh yang telah tertangkap dan menyerah. Dimana isi dari surat pendek penyerahan diri itu berisikan, Raja (Sultan) mengakui daerahnya sebagai bagian dari daerah Hindia Belanda. Raja berjanji tidak akan mengadakan hubungan dengan kekuasaan di luar negeri. Berjanji akan mematuhi seluruh perintah-perintah yang ditetapkan Belanda. (RH Saragih, J Sirait, M Simamora, Sejarah Nasional, 1987)


TAKTIK PERANG GERILYA ACEH DITIRU VAN HEUTZ

Posted On 8:41 PM by History Of Aceh 0 comments

Taktik perang gerilya Aceh ditiru oleh Van Heutz, dimana dibentuk pasukan marsuse yang dipimpin oleh Christoffel dengan pasukan Colone Macannya yang telah mampu dan menguasai pegunungan-pegunungan, hutan-hutan rimba raya Aceh untuk mencari dan mengejar gerilyawan-gerilyawan Aceh.
Taktik berikutnya yang dilakukan Belanda adalah dengan cara penculikan anggota keluarga Gerilyawan Aceh. Misalnya Christoffel menculik permaisuri Sultan dan Tengku Putroe (1902). Van Der Maaten menawan putera Sultan Tuanku Ibrahim. Akibatnya, Sultan menyerah pada tanggal 5 Januari 1902 ke Sigli dan berdamai. Van Der Maaten dengan diam-diam menyergap Tangse kembali, Panglima Polem dapat meloloskan diri, tetapi sebagai gantinya ditangkap putera Panglima Polem, Cut Po Radeu saudara perempuannya dan beberapa keluarga terdekatnya. Akibatnya Panglima Polem meletakkan senjata dan menyerah ke Lo' Seumawe (1903). Akibat Panglima Polem menyerah, banyak penghulu-penghulu rakyat yang menyerah mengikuti jejak Panglima Polem.

Taktik selanjutnya, pembersihan dengan cara membunuh rakyat Aceh yang dilakukan dibawah pimpinan Van Daalen yang menggantikan Van Heutz. Seperti pembunuhan di Kuta Reh (14 Juni 1904) dimana 2922 orang dibunuhnya, yang terdiri dari 1773 laki-laki dan 1149 perempuan.
Taktik terakhir menangkap Cut Nya' Dien istri Teuku Umar yang masih melakukan perlawanan secara gerilya, dimana akhirnya Cut Nya' Dien dapat ditangkap dan diasingkan ke Cianjur.


SIASAT SNOUCK HURGRONYE

Posted On 8:40 PM by History Of Aceh 0 comments

Untuk mengalahkan pertahanan dan perlawan Aceh, Belanda memakai tenaga akhli Dr Snouck Hurgronye yang menyamar selama 2 tahun di pedalaman Aceh untuk meneliti kemasyarakatan dan ketatanegaraan Aceh. Hasil kerjanya itu dibukukan dengan judul Rakyat Aceh ( De Acehers). Dalam buku itu disebutkan rahasia bagaimana untuk menaklukkan Aceh.

Dimana isi nasehat Snouck Hurgronye kepada Gubernur Militer Belanda yang bertugas di Aceh adalah, Supaya golongan Keumala (yaitu Sultan yang berkedudukan di Keumala) dengan pengikutnya dikesampingkan. Menyerang terus dan menghantam terus kaum ulama. Jangan mau berunding dengan pimpinan-pimpinan gerilya. Mendirikan pangkalan tetap di Aceh Raya. Menunjukkan niat baik Belanda kepada rakyat Aceh, dengan cara mendirikan langgar, masjid, memperbaiki jalan-jalan irigasi dan membantu pekerjaan sosial rakyat Aceh.
Ternyata siasat Dr Snouck Hurgronye diterima oleh Van Heutz yang menjadi Gubernur militer dan sipil di Aceh (1898-1904). Kemudian Dr Snouck Hurgronye diangkat sebagai penasehatnya.


PERANG ACEH DARI TAHUN 1873 SAMPAI TAHUN 1904

Posted On 8:39 PM by History Of Aceh 0 comments

Pada tanggal 26 Maret 1873 Belanda menyatakan perang kepada Aceh. Perang pertama yang dipimpin oleh Panglima Polem dan Sultan Machmud Syah melawan Belanda yang dipimpin Kohler. Kohler dengan 3000 serdadunya dapat dipatahkan, dimana Kohler sendiri tewas pada tanggal 10 April 1873.
Perang kedua, dibawah Jenderal Van Swieten berhasil menduduki Keraton Sultan dan dijadikan sebagai pusat pertahanan Belanda.

Ketika Sultan Machmud Syah wafat 26 Januari 1874, digantikan oleh Tuanku Muhammad Dawot yang dinobatkan sebagai Sultan di masjid Indragiri.
Perang dilanjutkan secara gerilya dan dikobarkan perang fi'sabilillah. Dimana sistem perang gerilya ini dilangsungkan sampai tahun 1904.
Dalam perang gerilya ini Teuku Umar bersama Panglima Polem dan Sultan terus tanpa pantang mundur. Tetapi pada tahun 1899 ketika terjadi serangan mendadak dari pihak Van Der Dussen di Meulaboh Teuku Umar gugur. Tetapi Cut Nya' Dien istri Teuku Ummar siap tampil menjadi komandan perang gerilya.


SEBAB TIMBUL PERANG ACEH LAWAN BELANDA

Posted On 8:37 PM by History Of Aceh 0 comments

Tahun 1873 pecah perang Aceh melawan Belanda. Perang Aceh disebabkan karena,
1. Belanda menduduki daerah Siak. Akibat dari perjanjian Siak 1858. Dimana Sultan Ismail menyerahkan daerah Deli, Langkat, Asahan dan Serdang kepada Belanda, padahal daerah-daerah itu sejak Sultan Iskandar Muda ada dibawah kekuasaan Aceh.
2. Belanda melanggar Siak, maka berakhirlah perjanjian London (1824). Dimana isi perjanjian London adalah Belanda dan Inggris membuat ketentuan tentang batas-batas kekuasaan kedua daerah di Asia Tenggara yaitu dengan garis lintang Sinagpura. Keduanya mengakui kedaulatan Aceh.

3. Aceh menuduh Belanda tidak menepati janjinya, sehingga kapal-kapal Belanda yang lewat perairan Aceh ditenggelamkan Aceh. Perbuatan Aceh ini disetujui Inggris, karena memang Belanda bersalah.
4. Di bukanya terusan Suez oleh Ferdinand de Lessep. Menyebabkan perairan Aceh menjadi sangat penting untuk lalulintas perdagangan.
5. Dibuatnya Perjanjian Sumatera 1871 antara Inggris dan Belanda, yang isinya, Inggris memberika keleluasaan kepada Belanda untuk mengambil tindakan di Aceh. Belanda harus menjaga keamanan lalulintas di Selat Sumatera. Belanda mengizinkan Inggris bebas berdagang di Siak dan menyerahkan daerahnya di Guinea Barat kepada Inggris.
6. Akibat perjanjian Sumatera 1871, Aceh mengadakan hubungan diplomatik dengan Konsul Amerika, Italia, Turki di Singapura. Dan mengirimkan utusan ke Turki 1871.
7. Akibat hubungan diplomatik Aceh dengan Konsul Amerika, Italia dan Turki di Singapura, Belanda menjadikan itu sebagai alasan untuk menyerang Aceh. Wakil Presiden Dewan Hindia Nieuwenhuyzen dengan 2 kapal perangnya datang ke Aceh dan meminta keterangan dari Sultan Machmud Syah tengtang apa yang sudah dibicarakan di Singapura itu, tetapi Sultan Machmud menolak untuk memberikan keterangan.